Hari
telah senja dan waktu semakin tua untuk menjaga kita dalam perseberangan ini.
Sering aku bersembunyi di tempat yang kau sukai, siapa tahu kau datang saat ada
waktu dan tidak sengaja bertemu aku, jadinya kita bisa mencoba baikan. Aku
memang cikal-bakalmu, tapi bukan berarti cuma aku yang berharga dan kau tidak.
Sumpah, aku menjerit karena patah hati, patah arang. Kepergianmu sudah terlalu
lama dan hampir aku lupa bagaimana wajahmu, dimana persisnya letak tahi lalat
yang sejak kita masih muda sudah kunobatkan sebagai penyebab kecantikanmu.
Hingga hari ini, tidak
terhitung banyaknya musim yang kulewati, rumah-rumah yang kusinggahi, dan tanaman
yang kunikmati tumbuh dan layunya, hanya untuk mengesampingkan kerinduan akan
kepulanganmu. Masih ingat kan dulu? Dulu—bertahun-tahun yang lalu, kita pernah
duduk mesra di dekat cadas, melihat bagaimana debur ombak membenturkan tubuhnya
di lengan cadas itu demi memberi tontonan buat pelupuk kita. Kau dan aku rapat,
menghayati debur dan dentum. Membiarkan angin merasuki relung yang berisi
cerita-cerita bahagia tentang masa depan. Ah, seandainya waktu bisa diputar dan
saat itu kita membuat perjanjian agar yang satu jangan mengkhianati yang lain,
tentu saat ini aku tidak seorang diri menonton mawar yang mekarnya buru-buru.