Haluuu…
Sepertinya sudah lama saya tidak mengisi blog ini.
Kemarin habis berjuang untuk tes masuk kerja but it turned out that the girl who did not pass the tests was ME!
Jalan hidup saya sepertinya masih belum rela move on dari kegiatan berburu pekerjaan.
Baru-baru ini saya ujian sebanyak tiga kali dan tiga kali juga saya gagal, yang
satu di wawancara user, yang satu
lagi di wawancara kompetensi, dan yang terakhir di tes kesehatan. Yang paling
menyesakkan itu yang tes paling baru—actually
a day ago,—gagal tes kesehatan. Padahal sebelumnya saya sudah me-list dan bertekad untuk melakukan
beberapa hal dengan gaji pertama, ya semacam nazarlah, haha!
Saat saya tahu saya gagal, saya tiba-tiba de javu. Pikiran saya seperti kembali ke
lebih dari lima tahun yang lalu, saat lagi musim-musimnya ujian masuk perguruan
tinggi negeri. Dulu sekali—zaman SMA—saya sangat berambisi kuliah di UI.
Keinginan tersebut membuncah setelah saya mendengar cerita teman chatting saya yang kakaknya kuliah di
sana dengan jurusan Akuntansi. Yang saya tangkap waktu itu tentang UI bukan
hanya kualitasnya, tapi juga soal gengsi dan harga diri. Bapak saya juga sering
menyebutkan kalau kuliah di UI itu keren,
terpandang, dan bla-bla-bla. Sebagai
ABG, saya terpancing juga dan sejak saat itu mulai getol-getolan belajar di rumah dan di sekolah, even waktu istirahat di sekolah pun, saya gunakan untuk membahas
soal tes masuk perguruan tinggi negeri.
Namun, perjuangan saya yang habis-habisan siang malam
itu tidak berbanding lurus dengan hasil yang saya dapatkan: I was failed! Perlu diingat lagi, waktu
itu saya masih ABG yang ingin punya gengsi tinggi plus ambisi, dan ketika tahu
bahwa saya tidak lulus, saya galau berkepanjangan. Setiap bangun pagi, mandi,
makan, dan waktu sendirian, saya teringat akan kegagalan saya dan saya
menangis. Saya curhat sedih-sedihan, baper-baperan pada semua orang, termasuk
kakaknya teman chatting saya itu,
padahal tidak kenal-kenal amat. Status Facebook
saya penuh kegalauan dan mungkin banyak yang prihatin dan mencibir juga
oleh karena postingan sampah saya.
Puncaknya adalah saat saya tidak bisa lagi mengambil
UI sebagai universitas tujuan untuk tes masuk PTN berikutnya. Selain karena
daya tampungnya yang terlalu sedikit (10 orang se-Indonesia kalau tidak salah
untuk jurusan-jurusan di Fakultas Ekonomi), mama saya juga kurang restu kalau
saya kuliah di Pulau Jawa oleh karena beberapa alasan. Maka, pupus sudah
kesempatan untuk kuliah di UI.
Alhasil, sampai saya dinyatakan lulus masuk Manajemen
USU, sampai masa OSPEK selesai dan bulan-bulan awal semester satu berjalan, saya
masih tidak bisa menerima kenyataan kalau saya kuliah di USU, bukannya di UI;
jas almamater saya warnanya hijau, bukannya kuning. Saya benar-benar merasa
salah tempat dan berharap semua yang saya jalani adalah mimpi.
Lebih dari lima tahun sudah berlalu namun semua
kejadian tersebut ternyata masih terekam jelas dalam ingatan. Somehow, potongan-potongannya melambung
satu-persatu ketika saya tahu tidak lulus di tes kesehatan kemarin. I wonder what is wrong but do not get the
answer. Rasa gagal dan bau kesedihannya masih sama seperti lima tahun lalu,
apalagi ketika melihat orang rumah sedih, jadinya saya lebih sedih lagi. Tapi bedanya,
kali ini saya memiliki pengendalian perasaan yang berbeda.
This is how
it goes, pelajaran dari kegagalan
saya di SIMAK UI dulu ternyata saya dapatkan beberapa tahun kemudian. Lewat
kuliah di USU, pada satu hari yang kelabu di bulan Desember, saya memutuskan
untuk datang ke satu paguyuban pelayanan. Sebenarnya, saya sudah mengikuti beberapa
pelayanan selama kuliah dan they’re all
good exactly, but for this one, I have to say that it’s different. Saya
merasa menemukan arah yang dahulu kabur dan abu. Saya benar-benar seperti
terlahir kembali dan tahu garis utama hidup yang seharusnya saya jalani.
Pengalaman ini mungkin tidak akan pernah saya dapatkan kalau saja lima tahun
lalu saya lulus SIMAK dan kuliah di UI. Mungkin saja saya masih terus berkutat
dengan perkara-perkara seperti gengsi dan harga diri. So, I am very grateful for my newborn and will cherish the moment until
forever.
Kalau ditarik lagi ke kegagalan saya yang barusan ini,
saya persis tahu, hampir lulus itu rasanya tidak dapat digambarkan dengan
kata-kata. Siapa yang bisa tetap biasa dengan kekalahan di detik-detik
terakhir, di kondisi yang sudah sampai titik nadir, dan di masa-masa pengangguran
yang belum bertepi.
Dan pada akhirnya, hanya satu ini yang dapat saya
pegang: sebagaimana Tuhan menuntun saya untuk menemukan jawaban mengapa saya
masuk ke perguruan tinggi yang tidak saya sukai, demikian pula suatu hari nanti
atau mungkin beberapa tahun setelah ini Dia memberikan jawaban mengapa saya
mesti gagal kali ini.
Kepasrahan ini tidak terjadi serta-merta tentu saja. Sebenarnya
kalau diingat, saya kadang masih merasa tidak terima karena ada hal yang
sepertinya ganjil, apalagi kejadiannya masih sangat baru. Tetapi saya berusaha untuk
bersyukur. Bersyukur karena saya tidak banjir air mata seperti lima tahun yang
lalu, bahkan meneteskan sebutir dari pelupuk pun tidak. Bersyukur karena
perasaan saya begitu terkendali (karena mungkin saya sudah mengetahui garis
utama kehidupan saya dan oleh sebab itu berusaha untuk tidak khawatir).
Sulit dibayangkan, tetapi itulah kenyataannya, saya
dimampukan. Kelak, ketika saya membaca tulisan ini lagi dan telah menemukan
jawabannya, saya akan menuliskan sekuelnya, hehe.
Sekian cerita sedih ini. Semoga dalam kebiruannya,
masih ada yang merasa termotivasi.
PS: Hidup tidak mudah, saya tahu. Tapi Tuhan jauh
melampaui ketidakmudahan itu. Dia sendiri yang akan menepati janji-Nya pada
setiap kita. Amin.
EL
ditunggu sekuel selanjutnya Kakak, Jawaban dari setiap penantian :)
BalasHapusOke, Selena Gomez... hahaa
HapusTerima Kasih kakak EL... :)
BalasHapusSama-sama, Mbak There :*
Hapusaku baru baca beeet,
BalasHapusim sure someday you (all of us too) will look to these gloomy days, then smile (in our case, we'll laugh out loud. Too loud, exactly).
This too shall pass darl !
:*
Amiiiinn... Smangat Onaraaa! Semoga 2016 ini makin cerah untuk kita semua :')
Hapus