Hola!
Ini adalah postingan saya yang kesekian. Masih
soal-soal pekerjaan, kalau kemarin-kemarin tulisan saya agak menyerempet ke
keadaan saya sebagai seorang jobless,
yang kali ini 180 derajat perbedaannya. Yes, thank God, akhirnya saya
mendapatkan pekerjaan! Sebelum saya kasih tahu pekerjaan saya yang paling
paling pertama ini, saya mau bercerita soal masa lalu saya ketika memilih
pekerjaan.
As a matter of fact, saya sempat berada di titik
dimana saya merasa superior. Seperti di postingan saya sebelumnya, saya
menganggap bahwa mencari pekerjaan itu masalah gampang. Sebenarnya hal tersebut
sifatnya laten karena setiap kali saya ingat, saya berusaha menyingkirkannya jauh-jauh sebab jelas saya
tahu sifat tersebut tidak baik. Nevertheless, perasaan superior tersebut bisa
datang tiba-tiba ketika saya merenung, ketika saya sedang ingin memutuskan
untuk meng-apply suatu pekerjaan, bahkan yang paling sering yakni ketika saya
sedang tidak ada kerjaan (karena itu guys hati-hati dengan waktu kosong, karena
hal-hal yang buruk bisa terjadi di saat itu dan meluap-luap di pikiran kita
seperti api). Kalau saya pribadi mengatakannya perasaan tersebut adalah sisa-sisa sifat ambisius saya di masa lalu.
Lalu pertanyaannya, kenapa saya merasa superior? Actually,
saya malu untuk mengemukakannya. Saya malu dengan sifat buruk itu, tapi baiklah
saya ceritakan. Saya itu sempat merasa saya terlalu pintar untuk meng-apply
posisi ‘biasa’ atau perusahaan ‘biasa’. Ya, memang di tahun 2014, oleh beberapa
tanggung jawab, saya ingin sekali mendapatkan pekerjaan di Medan. Namun ketika
melihat info lowongan kerja perusahaan yang bahkan namanya saja saya tidak
pernah dengar plus posisi yang ‘nggak banget’, saya kok merasa enggan melamar.
Memang pada saat itu saya tidak bilang kalau saya terlalu ‘baik’ untuk
perusahaan atau posisi tersebut, tapi secara tidak sadar, sekarang saya harus
mengakui bahwa perasaan superior itulah yang menghantui saya.
Singkat cerita, sebagaimana Tuhan sebagai Pihak yang
mahakuasa, Dia pastinya tidak menyukai keangkuhan laten saya tersebut. Perhaps
that was why saya juga tidak dapat-dapat kerjaan pada masa itu (haha). Waktu itu
benar saja, hampir satu setengah tahun saya menganggur, banyak hal yang terjadi
dalam hidup saya. Saya hanya dapat jatah mengajar privat anak SD kurang lebih 2
bulan because of several reasons, kemudian saya sakit sehingga saya harus
pulang kampung dan beristirahat di rumah selama lebih dari tiga bulan.
April 2015, saya kembali ke Medan karena saya merasa
lama-lama di rumah akan membuat saya terlena. Jadilah saya ke Medan dengan
rencana untuk membuat bisnis bersama teman-teman kuliah. But it didn’t work
out, saya dan teman-teman mengambil keputusan untuk berhenti. Selang beberapa
saat setelah bisnis itu bubar, ibu saya sakit sehingga harus dioperasi. Saat
itu saya memutuskan untuk fokus menjaga ibu dan pascaoperasi, saya ikut pulang
kampung selama beberapa minggu.
Waktu berlalu, saya kembali memutuskan untuk melamar
pekerjaan. Namun rupanya perasaan superior itu masih mengikut seperti tuyul
peliharaan. Saya berjuang untuk menge-press nya dengan meng-apply baik ke
perusahaan besar dan perusahaan yang namanya tidak bonafit. Pada saat itu, saya
mulai merasa risau oleh usia yang terus bertambah, terutama oleh orang-orang
yang terus bertanya saya sudah kerja dimana, kenapa saya belum dapat pekerjaan,
apakah saya terlalu pemilih, apakah saya punya rencana untuk melanjut kuliah
lagi makanya saya tidak ambil kerjaan, dan macam-macam. Those quests were
annoying me, indeed.
Saya sudah mengikuti banyak tes dari lowongan-lowongan
yang saya lamar, namun hasilnya nihil. Sempat saya berpikir bahwa Tuhan
sepertinya menganaktirikan saya atau memperlakukan saya tidak adil dibandingkan
teman-teman kuliah saya dulu yang sudah menuai kesuksesan dalam hal karier (lagi-lagi
pikiran dan perasaan itu muncul ketika saya sedang tidak ada kerjaan dan
kondisi batin saya sedang lemah-lemahnya).
Buruknya, perasaan superior saya masih belum
jengah mengendap seperti tungau yang tidak kelihatan. Dalam kondisi terjepit
pun masih juga saya mendambakan durian runtuh. Dari antara lowongan-lowongan
yang saya jatuhkan lamaran, dalam hati saya ingin sekali bisa lulus di perusahaan
besar, nama besar, gengsi tinggi, gaji yang lumayan, dan bla-bla-bla (maafkan
saya Tuhan).
Puncaknya adalah ketika saya gagal dua kali di
perusahaan besar seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Seperti
mengalami keruntuhan, kejadian tersebut menjadi titik balik saya dalam
hal-ikhwal mencari pekerjaan. Ditambah kenyataan bahwa keluarga saya sedang
dalam kesulitan ekonomi, dengan yakin saya beritahu pada diri saya sendiri
kalau saya terus-terusan seperti ini, saya cuma akan membuat kesombongan dalam
diri saya beranak-pinak dan menutup telinga pada apa yang Tuhan inginkan untuk
saya lakukan. Jadilah saya apply ke banyak perusahaan tanpa memilih-milih
posisi dan reputasinya. Hampir sepuluh lamaran saya jatuhkan dalam dua minggu
dan tadaaaa… Puji Tuhan, saya diterima sebagai staf administrasi di Tupperware.
Saya bersyukur bukan cuma karena saya sudah mendapatkan pekerjaan, tapi pada
akhirnya saya bisa mengalahkan keakuan saya. Saya bersedia membuka diri untuk
mempersilakan kerendahan hati masuk ke dalam hidup saya. Saya merasa sangat
terberkati.
Well, ini bukan akhir dari perjuangan saya, melainkan
awal dari perjalanan hidup saya. Kehidupan yang seharusnya diwarnai dengan
kerendahan hati dan semangat untuk terus rendah hati. Kesadaran bahwa saya
bukan siapa-siapa membawa saya pada kesimpulan bahwa sudah selayaknya saya
bersuka cita untuk segala hal yang masih dapat saya nikmati hingga hari ini.
Sekian
EL
Ia
membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan
jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati.
(Mazmur 25:9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar