Hari
telah senja dan waktu semakin tua untuk menjaga kita dalam perseberangan ini.
Sering aku bersembunyi di tempat yang kau sukai, siapa tahu kau datang saat ada
waktu dan tidak sengaja bertemu aku, jadinya kita bisa mencoba baikan. Aku
memang cikal-bakalmu, tapi bukan berarti cuma aku yang berharga dan kau tidak.
Sumpah, aku menjerit karena patah hati, patah arang. Kepergianmu sudah terlalu
lama dan hampir aku lupa bagaimana wajahmu, dimana persisnya letak tahi lalat
yang sejak kita masih muda sudah kunobatkan sebagai penyebab kecantikanmu.
Hingga hari ini, tidak
terhitung banyaknya musim yang kulewati, rumah-rumah yang kusinggahi, dan tanaman
yang kunikmati tumbuh dan layunya, hanya untuk mengesampingkan kerinduan akan
kepulanganmu. Masih ingat kan dulu? Dulu—bertahun-tahun yang lalu, kita pernah
duduk mesra di dekat cadas, melihat bagaimana debur ombak membenturkan tubuhnya
di lengan cadas itu demi memberi tontonan buat pelupuk kita. Kau dan aku rapat,
menghayati debur dan dentum. Membiarkan angin merasuki relung yang berisi
cerita-cerita bahagia tentang masa depan. Ah, seandainya waktu bisa diputar dan
saat itu kita membuat perjanjian agar yang satu jangan mengkhianati yang lain,
tentu saat ini aku tidak seorang diri menonton mawar yang mekarnya buru-buru.
Kau
tahu, sejak kau putuskan pergi dengan dia dan meninggalkan tempat yang pernah
kau sebut ‘rumah kita’, meja makan yang ada di dalamnya tidak lagi berpenghuni.
Aku pensiun untuk mendudukinya karena jika berada di sana, ingatanku bisa
berubah liar. Ia bahkan sanggup menyulut air mata kala aku mengenang dua orang yang
pernah makan malam bersama di sana sambil berlomba mengurutkan buah-buah sesuai
abjad, atau memberikan nama lain buat anjing-anjing tetangga. Sudah lama kedua
orang itu tidak saling menyapa dan berterus terang. Bahkan jika sanggup
dihitung, angkapun tak kuasa untuk menyatakannya. Banyaknya hari yang terbuang
sudah melebihi jumlah bintang di langit saat permukaannya bersih. Udara saja
mengeluh karena mulut salah seorang melulu menghembuskan huruf-huruf yang ada di nama seorangnya lagi. Jangan
bilang ia frustrasi, keadaannya lebih parah dari itu. Tempat itu kini telah
menjelma ruang yang kehabisan oksigen, sedangkan hati yang tertinggal... ah
sudahlah.
Kalau
mau jujur, kadang aku berpikir apakah aku telah salah memberikanmu kebebasan.
Bebas menjejak jalan apa saja, berlari kemana saja asal jangan kau jatuhkan
dirimu itu. Katakan, telahkah salah caraku mencintaimu hingga cara itu membuat
aku kalah banyak? Memang kalau kata orang aku tidak pernah kalah, tapi sejujurnya
aku pernah merasa kalah. Merasa cemburu pada dia yang sepertinya lebih
membuatmu tertarik untuk bergantung. Pada dia yang ciri-cirinya kau tulis di
buku harian dan inisialnya kau ukir di balik lemari pakaian. Aku betulan
cemburu Rus, karena semua tentang dia kau tahu sementara mataku saja kau tidak
tahu plus atau minus.
Ingat
tidak apa yang kau lakukan padaku terakhir kali di rumah kita? Sebenarnya ingin
kulupakan, tapi aku sudah terbentuk untuk tidak gampang melupakan. Aku masih ingat
bagaimana kau melaga aku dengan dia dan menepis ikatan kita yang umurnya jauh lebih
lama dibandingkan monyet-moyetanmu dengannya. Kau berkata padanya, “Ayo pergi
dari sini. Sudah terlalu lama ia mengekangku. Aku muak tinggal bersamanya!” Rus,
seandainya aku bisa, ingin sekali waktu itu aku bertanya bagian mana yang
membuatmu terkekang. Apakah perlindunganku yang sedemikian rupa, atau
ketidakrelaanku kau terluka? Bagaimana mungkin kau merasa dikekang kala aku mengasihimu
dalam kebebasan?
Rus,
janjiku dulu pada ibumu hanyalah akan mengurusimu dengan cinta. Tapi mungkin
aku harus minta maaf padanya nanti di keabadian, karena padamu aku memang masih
cinta, tapi aku bukan lagi seseorang yang bisa mengurusi. Kalau nanti dia tanya
apa hal terakhir yang bisa kulakukan, aku akan jawab: menanti dengan rindu dering
telepon di ruang tamu. Berharap ada keajaiban menyeruak dari sana: suaramu.
Rus,
puteriku, kesayanganku. Aku hanya mau kau kembali dan kita bertemu. Kau bawakan
aku apa yang dulu pernah manis di antara kita: cinta yang memakai hati, bukan
mata.
EL
Nama panjangnya si Rus itu siapa? Ga nyangka kk El skrg jd penulis berbakat, knpa ga jd petinju aja? Hahhaa.. #YNWA
BalasHapusPetinju? Smackdown sih. Haha. Anw, siapa ini?
HapusGood.
BalasHapusMakasih Halfarida :D
HapusGood.
BalasHapusEL buat cerita tentang Onara dongg. wkwk :D
BalasHapusNantikan aja ya Bre Sagala haha
HapusDalam kali kak :D
BalasHapusPas lagi baper2 nya itu haha
HapusHatiku terblender mendengar tulisan indahmu ini. Kau memang sangat berbakat menjadi polwan.lanjutkan coretan2 tak seberapamu ini. Aku kan setia menjadi pendengarnya. Dari goa relung hati yang menembus inti bumi dan berbalut kegelapan sunyinya sukma jiwa ini aku merasakan fantasi kenikmatan dan candu akan tulisanmu.. Sampaikan salamku pada si rus. Lan. :D
BalasHapusHatiku terblender mendengar tulisan indahmu ini. Kau memang sangat berbakat menjadi polwan.lanjutkan coretan2 tak seberapamu ini. Aku kan setia menjadi pendengarnya. Dari goa relung hati yang menembus inti bumi dan berbalut kegelapan sunyinya sukma jiwa ini aku merasakan fantasi kenikmatan dan candu akan tulisanmu.. Sampaikan salamku pada si rus. Lan. :D
BalasHapusCita-citaku memang mau jadi polwan makanya aku menulis haha. Ga nyambung kali kau ya John. Tp makasih komenmu yg sangat aduhai sastrawi itu yaaa ternyata kau bakat juga jualan obat hahaha. Nnt salammu kusampekan sama Rusdianto :D
Hapus