Senin, 18 Januari 2016

PENGAMEN GURUKU HARI INI

Hari ini saya mendapatkan satu pengalaman berharga yang terlalu mengesankan jika tidak dibagikan.

Sore tadi saya dan Ruth—teman sayamelakukan aktivitas kami biasanya di hari Senin, melewati jalanan lengang habis pulang dari tempat kursus IELTS. Setibanya di bibir jalan, kami nangkring sebentar demi  menunggu angkot untuk kembali ke kosan. Hanya butuh sekian detik, angkot jurusan tempat tinggal kami sudah berhenti di depan kami, lantas aku dan Ruth pun bergegas memasuki angkutan tersebut dan mengambil posisi wenak untuk duduk. Sekilas ketika saya mau mengambil tempat duduk di dekat kaca, saya melihat seorang bapak usia sekitar 30-an duduk di pinggir bangku dekat pintu sambil memangku sekarung beras. Dalam hati, saya merasa seperti pernah lihat. Selang beberapa detik akhirnya saya ingat, dia Bapak tunanetra yang sebelumnya pernah saya lihat pada perjalanan yang mirip sore tadi, namun beberapa minggu yang lalu. Saya yakin karena ketika menyusur pandang ke arah semua penumpang di dalam angkot itu, saya mendapati isteri dan anak-anak beliau ikut juga—sama seperti tempo hari.

Sesaat setelah kami duduk, angkot itu pun melaju lambat-lambat oleh karena macetnya jalanan kota Medan di sore hari. Beberapa menit, kami tiba di lampu merah. Masih sekejap angkot kami berhenti namun sudah ada abang-abang muda yang berdiri di pintu angkot lengkap dengan gitarnya: dia pengamen. Si Abang pun mulai bernyanyi lagu rohani yang sangat familiar di telinga. (Sore tadi saya sedang tidak niat membagi duit pada pengamen tersebut dan jadilah saya mendengar secara gratisan, hehehe).

Masih beberapa baris si Abang pengamen menyanyi, tiba-tiba si Bapak tunanetra langsung berkata pada isterinya dengan bahasa Batak, “Lean jo hepeng I tu imana (tolong berikan uang kepadanya <pengamen>)”. Si isteri tanpa pikir panjang langsung menurut dan mengeluarkan uang pecahan lima ribu. Saya terperanjat juga. Seumur-umur saya tidak pernah memberikan pengamen jalanan uang sebanyak itu. Lalu si isteri memberikan uang tersebut pada si Bapak dan si Bapak mengatakan pada anak perempuannya, “Ini, kasih sama abang itu.” Anak itu juga menurut sembari meraih uang yang ada di tangan Bapaknya.

Setelah si Abang pengamen menyelesaikan lagunya, si anak perempuan langsung memasukkan uang tersebut ke plastik bungkusan warna abu yang tertempel di lengan gitar. Si Abang pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku melirik si Bapak. Seperti bisa merasakan, beliau juga ikutan tersenyum.

Lampu hijau. Angkot kami pun bergerak maju, namun saking padatnya jalanan sore itu, malang tak dapat ditawar, kami kena lampu merah lagi di tempat yang sama.  Sekali lagi angkot kami berhenti dan sekali lagi juga pengamen lain datang. Supir kami sampai melihat ke belakang berulang kali—ke arah kami. Agaknya dia berpikir kalau kami mungkin terganggu karena biasanya kalau sudah ada satu pengamen yang berkidung di satu angkot, walaupun angkot tersebut berhenti lagi, maka tidak akan ada lagi pengamen yang mendekat. Namun pengamen yang satu ini seperti tidak peduli apa yang dimaksud ‘biasanya’.

Langsung saja ia memainkan gitarnya sambil bernyanyi dan sekali lagi aku dibuat terperanjat karena si Bapak tampil lagi sebagai yang dermawan. Dia kembali berkata pada isterinya, “Kasih lagi uang itu sama dia, Mak.” Dan si isteri tanpa raut wajah berat mengeluarkan uang pecahan lima ribu dari dompetnya dan memberikannya pada si Bapak. Seperti pengamen yang pertama, si Bapak meminta anak perempuannya untuk memberikan uang tersebut kepada si pengamen. Dan yang paling klimaks adalah ketika saya dengan jelas mendengar si Bapak mengatakan pada isterinya, “Seratus kalipun ada yang datang (mengamen), seratus kali juga kita harus memberikan padanya (uang).” Ketika mendengar kalimat itu, sekonyong-konyong saya seperti throwing back ke memori beberapa minggu lalu, waktu saya dan keluarga si Bapak menumpang di angkot yang sama. Si Bapak juga memberikan uang kepada pengamen ketika kami tertahan di lampu merah.

Tapi, si Abang pengamen kedua sepertinya tidak yakin kalau dia akan mendapat uang dari penumpang di angkot kami. Lantas ia buru-buru pergi tanpa menyelesaikan lagu, tanpa mohon diri. Sungguh sayang sekali, dia tidak jadi dapat rejeki dari si Bapak tunanetra yang baik hatinya. Tadi saya sempat juga tersenyum manakala si anak perempuan berbicara pada bapaknya, “Yaah, dia (si pengamen) nggak mau uangnya, Pak…” Si anak seolah sedih karena uang di tangannya tidak jadi diberikan.

Lampu hijau lagi. Kali ini angkot kami langsung melesat pergi meninggalkan tempat nongkrong para pengamen di lampu merah. Sepanjang sisa perjalanan, saya merenung dalam hati. It was not a  five-thousand-Rupiahs led me to the short contemplation this evening, but his pretty good kindness of heart.

Sejak awal tadi saya sudah menyebut si Bapak dengan sebutan si Bapak tunanetra. Hal itu sama sekali bukan untuk mendiskreditkan beliau dengan kondisi disabilitasnya, namun untuk menegaskan betapa saya sangat kagum pada beliau dan keluarga kecilnya yang saya jumpai di dalam angkot.

Sebagai seorang difabel yang berkeluarga, saya yakin hidup beliau tidak akan pernah menjadi mudah. Kalau mau beralasanseperti yang kadang-kadang kita lakukan, si Bapak bisa saja mengeluh, uring-uringan, dan menolak untuk peduli pada orang lain dengan dalih kondisinya yang terbatas. Ia punya opsi untuk tidak memberikan sepeser pun dengan alasan hidupnya tidak mudah juga, ia butuh uang karena harus menjadi tulang punggung untuk isteri dan anak-anak. Namun si Bapak memilih untuk menjadi seorang Bapak tunanetra yang rajin berbagi. Disabilitas tidak membuatnya mundur.

Ini tidak melulu persoalan berapa besaran uang yang beliau berikan atau mungkin tuntutan memberikan uang kepada setiap pengamen yang kita jumpai. Yang ingin saya soroti adalah keindahan berbagi dan ketulusan hati dari keluarga yang terbilang sederhana. Bukan rahasia umum kalau seorang isteri suka mendumel kalau suaminya royal memberi pada orang lain, apalagi kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. “Di rumah saja kurang, mau kasih sama orang!” demikianlah salah satu petikan omelan ibu-ibu. Namun apa yang saya dapati tadi adalah gambaran seorang isteri yang berhati baik. Dengan tangan yang ringan ia mengambil uang dari dompetnya untuk diberikan kepada pengamen. I was stunned!

Puncak dari permenungan singkat tadi sore adalah refleksi kepada diri sendiri. Bagaimana dengan saya? Apa yang sudah saya bagikan hari ini pada orang lain di masa yang mungkin menurut saya sedang berat-beratnya? Apakah ada uang yang mengalir untuk orang lain hari ini? Atau waktu untuk memikirkan orang yang sedang tidak baik keadaannya? Atau mengunjungi si sakit? Menasihati yang sedang berada di tempat yang tidak lurus? Atau mungkin berdoa di dalam hati untuk orang lain selain diri saya sendiri dan keluarga? Sejujurnya saya masih keteteran juga…

Oh ya, tadi saya juga lihat isteri si Bapak memegang tas berisi gitar. Saya berkesimpulan kalau si Bapak adalah seorang pengamen juga. Orang-orang yang skeptis mungkin akan mengatakan bahwa kebaikan hati si Bapak hanya wujud solidaritas. Namun siapalah kita dapat mereka-reka isi hati orang lain? Kalaupun ya, itu adalah wujud solidaritas, telah sejauh apa kita menjadi solider terhadap rekan kita?

Sekian

“Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” Lukas 12:48b


EL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar