Hari ini saya mendapatkan satu pengalaman berharga
yang terlalu mengesankan jika tidak dibagikan.
Sore tadi saya dan Ruth—teman saya—melakukan aktivitas kami biasanya di hari Senin,
melewati jalanan lengang habis pulang dari tempat kursus IELTS. Setibanya di bibir jalan, kami nangkring sebentar demi menunggu angkot
untuk kembali ke kosan. Hanya butuh sekian detik, angkot jurusan tempat tinggal kami sudah berhenti di depan kami,
lantas aku dan Ruth pun bergegas
memasuki angkutan tersebut dan mengambil posisi wenak untuk duduk. Sekilas ketika saya mau mengambil tempat duduk
di dekat kaca, saya melihat seorang bapak usia sekitar
30-an duduk di pinggir bangku dekat pintu sambil memangku sekarung beras. Dalam
hati, saya merasa seperti pernah lihat. Selang beberapa
detik akhirnya saya ingat, dia Bapak tunanetra yang sebelumnya pernah saya
lihat pada perjalanan yang mirip sore tadi, namun beberapa minggu yang lalu.
Saya yakin karena
ketika menyusur pandang ke arah
semua penumpang di
dalam angkot itu, saya mendapati isteri dan anak-anak beliau ikut juga—sama seperti tempo hari.
Sesaat setelah kami duduk, angkot itu pun melaju lambat-lambat oleh karena
macetnya jalanan
kota Medan di sore hari. Beberapa menit, kami tiba di
lampu merah. Masih sekejap angkot kami berhenti namun sudah ada abang-abang muda yang berdiri di pintu
angkot lengkap dengan gitarnya: dia pengamen. Si Abang pun mulai bernyanyi lagu rohani yang sangat
familiar di telinga. (Sore tadi saya sedang tidak
niat membagi duit pada pengamen tersebut dan jadilah saya mendengar secara gratisan, hehehe).
Masih beberapa baris si Abang
pengamen menyanyi, tiba-tiba si Bapak tunanetra langsung berkata pada isterinya dengan bahasa Batak, “Lean
jo hepeng I tu imana (tolong berikan uang kepadanya <pengamen>)”. Si
isteri tanpa pikir panjang langsung menurut dan mengeluarkan uang pecahan lima
ribu. Saya terperanjat juga. Seumur-umur
saya tidak pernah memberikan pengamen jalanan uang
sebanyak itu. Lalu si isteri memberikan uang tersebut pada si Bapak dan si
Bapak mengatakan pada anak perempuannya,
“Ini, kasih sama abang itu.” Anak itu juga menurut sembari meraih uang yang ada
di tangan Bapaknya.
Setelah si Abang pengamen menyelesaikan lagunya, si
anak perempuan langsung memasukkan uang tersebut ke plastik bungkusan
warna abu yang tertempel di lengan gitar. Si Abang pun
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku melirik si Bapak. Seperti bisa merasakan, beliau juga ikutan tersenyum.
Langsung saja ia memainkan
gitarnya sambil bernyanyi dan sekali lagi
aku dibuat
terperanjat karena si Bapak
tampil lagi sebagai yang dermawan. Dia kembali berkata pada isterinya, “Kasih lagi uang itu sama
dia, Mak.” Dan si isteri tanpa raut wajah berat mengeluarkan uang
pecahan lima ribu dari dompetnya dan memberikannya pada si Bapak. Seperti
pengamen yang pertama, si Bapak meminta anak perempuannya untuk memberikan uang
tersebut kepada si pengamen. Dan yang paling klimaks adalah ketika saya dengan
jelas mendengar si Bapak mengatakan pada isterinya,
“Seratus kalipun ada yang datang (mengamen), seratus kali juga kita harus memberikan
padanya (uang).”
Ketika mendengar kalimat itu, sekonyong-konyong saya seperti throwing back ke memori beberapa minggu
lalu, waktu saya dan keluarga si Bapak menumpang di angkot yang sama. Si Bapak
juga memberikan uang kepada pengamen ketika kami tertahan di lampu merah.
Tapi, si Abang
pengamen kedua sepertinya tidak yakin kalau dia akan mendapat uang dari
penumpang di angkot kami. Lantas ia buru-buru pergi tanpa menyelesaikan lagu, tanpa
mohon diri. Sungguh sayang sekali, dia tidak jadi dapat rejeki dari si Bapak tunanetra
yang baik hatinya. Tadi saya sempat juga tersenyum manakala si anak perempuan berbicara pada
bapaknya, “Yaah, dia (si pengamen) nggak
mau uangnya, Pak…” Si anak seolah sedih karena uang di tangannya tidak jadi
diberikan.
Lampu hijau lagi. Kali ini
angkot kami langsung melesat pergi meninggalkan tempat nongkrong para pengamen di lampu merah. Sepanjang sisa
perjalanan, saya merenung dalam hati. It was not a five-thousand-Rupiahs led me to the short
contemplation this evening, but his pretty good kindness of heart.
Sejak awal tadi saya sudah menyebut si Bapak dengan sebutan si Bapak tunanetra. Hal itu sama sekali bukan untuk mendiskreditkan beliau dengan kondisi disabilitasnya, namun untuk menegaskan betapa saya
sangat kagum pada beliau dan keluarga kecilnya yang saya jumpai di dalam
angkot.
Sebagai seorang difabel yang berkeluarga, saya yakin hidup beliau tidak akan pernah menjadi mudah. Kalau mau
beralasan—seperti yang kadang-kadang kita lakukan, si
Bapak bisa saja mengeluh, uring-uringan, dan menolak untuk peduli pada orang
lain dengan dalih kondisinya yang terbatas. Ia punya opsi untuk tidak
memberikan sepeser pun dengan alasan hidupnya tidak mudah juga, ia butuh uang
karena harus menjadi tulang punggung untuk isteri dan anak-anak. Namun si Bapak
memilih untuk menjadi seorang Bapak tunanetra yang rajin berbagi. Disabilitas
tidak membuatnya mundur.
Ini tidak melulu persoalan
berapa besaran uang yang beliau berikan atau mungkin tuntutan memberikan uang kepada setiap pengamen
yang kita jumpai. Yang ingin saya soroti adalah keindahan berbagi dan
ketulusan hati dari
keluarga yang terbilang sederhana. Bukan rahasia umum kalau seorang isteri suka
mendumel kalau suaminya royal memberi pada orang lain, apalagi kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. “Di rumah saja kurang, mau kasih sama
orang!” demikianlah salah satu petikan omelan ibu-ibu. Namun apa yang saya
dapati tadi adalah gambaran seorang isteri yang
berhati baik. Dengan tangan yang ringan ia mengambil uang dari dompetnya untuk
diberikan kepada pengamen. I was stunned!
Puncak dari permenungan
singkat tadi sore adalah refleksi kepada diri sendiri. Bagaimana dengan saya? Apa
yang sudah saya bagikan hari ini pada orang lain di masa yang
mungkin menurut
saya sedang berat-beratnya?
Apakah ada uang yang mengalir untuk orang lain hari ini? Atau waktu untuk
memikirkan orang yang sedang tidak baik
keadaannya? Atau mengunjungi si sakit? Menasihati yang sedang berada di tempat yang
tidak lurus? Atau mungkin berdoa di dalam hati untuk orang lain selain diri saya sendiri dan keluarga? Sejujurnya saya masih keteteran juga…
Oh ya, tadi saya juga lihat isteri si Bapak memegang tas berisi gitar. Saya
berkesimpulan kalau si Bapak adalah seorang pengamen juga. Orang-orang yang
skeptis mungkin akan mengatakan bahwa kebaikan hati si Bapak hanya wujud
solidaritas. Namun siapalah kita dapat mereka-reka isi hati orang lain?
Kalaupun ya, itu adalah wujud solidaritas, telah sejauh apa kita menjadi solider
terhadap rekan kita?
Sekian
“Setiap orang yang kepadanya
banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak
dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” Lukas 12:48b
EL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar