Butuh waktu yang cukup lama buat saya untuk akhirnya berani menulis ini semua. Sebelumnya saya seperti diserang trauma yang hebat, perasaan 'tidak punya talenta', dan 'bukan apa-apa'. Saya semacam malu untuk mengakui bahwa saya ternyata memiliki begitu banyak kekurangan.
Pada tanggal 26 September 2017, saya mengikuti seleksi substansi beasiswa LPDP sebagaimana janji saya kepada diri sendiri di awal tahun 2017, yakni mengejar beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Strata 2. Namun sebelum ke hari-H yang penuh 'drama' tersebut, ada baiknya saya flashback dulu ke bulan-bulan sebelum tanggal tersebut.
Di tahun 2017, sebenarnya saya masih diserang rasa tidak percaya diri untuk melanjutkan S2 oleh karena saya meragukan potensi diri saya. Entah karena terlanjur berjanji di awal tahun atau entah karena memang dorongan dari dalam, saya tetap mengikuti prosesnya. Awal keraguan itu adalah ketika ingin memutuskan mengikuti tes IELTS. Bayangkan dari tahun 2015 saya les, berencana mengikuti tes di tahun 2016, namun baru realisasi di April 2017, dan itu juga karena dorongan seorang teman baik yang sangat sabar bernama Yohana. Kurasa kalau dia tidak ada, saya tidak akan berani ujian IELTS. Alasannya sederhana: biaya yang mahal dan takut mengulang kalau skornya tidak sesuai harapan. Ah, saya memang 'dianugerahi' perasaan khawatir yang berlebihan.
Di hari H tes IELTS, saya menyusuri lorong hotel menuju lokasi yang dipakai sebagai tempat berlangsungnya tes. Setibanya di sana, saya langsung melihat kandidat-kandidat lain juga sudah ada di situ. Penampilan mereka yang memberikan kesan percaya diri entah kenapa membuat saya merasa cukup terintimidasi. Udara dingin dari pendingin ruangan bukannya malah membuat rileks, malah seperti membuat tekanan darah saya menurun. Saya lemas bahkan sebelum tes dimulai.
Singkat kata, saya melewati tes dengan tidak maksimal. Yang saya yakin saya cukup baik hanya di tes speaking dan sisanya saya seperti kurang konsentrasi. Ketika rangkaian tes usai, saya keluar hotel dengan hati gontai. Dalam hati saya merasa sedih karena telah menyia-nyiakan uang sekian juta dan kesempatan berharga karena tidak maksimal.
Lalu dua minggu kemudian, sebuah keajaiban terjadi. Dengan hampir tidak bisa bernafas saya mengakses link hasil tes IELTS and the result was unbelievable. Saya mendapatkan skor tepat seperti kebutuhan standar mendaftar beasiswa LPDP untuk kampus luar negeri: 6,5. Buat saya, hal tersebut di luar logika. Jika ada orang yang menjadi saksi ketika saya tes, maka ia juga akan mengatakan, "you did it so bad." Ini di luar kuasa saya.
Lalu berlanjut ke step berikutnya, mendaftar ke universitas. Ketika banyak orang yang mengejar beasiswa ini mendaftar ke banyak kampus di luar negeri untuk mendapatkan the best unconditional letter of acceptance (LoA penuh), sejak awal saya telah memutuskan untuk mendaftar hanya pada 1 kampus. Alasannya masih sederhana, saya tidak punya cukup tabungan untuk mendaftar ke sana kemari, oleh karena itu saya harus memilih kampus dengan mata kuliah, syarat, dan biaya pendaftaran paling affordable.
Saya menjelajahi internet selama beberapa waktu untuk akhirnya memilih the University of Melbourne dan Human Resource Management sebagai jurusannya. Mengapa Human Resource Management? Alasan juga sederhana, basic saya manajemen dan saya tertarik berhubungan dan belajar tentang manusia meskipun di beberapa kesempatan saya gagal membina hubungan yang baik dengan orang lain ataupun masih 'takut' berurusan dengan orang seperti ini atau itu. Selain itu, mata kuliah yang ditawarkan juga menarik hati dan membangkitkan minat saya untuk belajar. Saya juga punya niatan untuk pulang kampung dan jika punya kesempatan ikut membantu orang-orang di sana untuk menemukan passion mereka sebagai manusia (hanya itu, saya tidak bertanya pada expert seperti yang dilakukan kandidat lain di LPDP, saya hanya melakukan semacam comparison dengan teman saya mengenai mata kuliah yang ditawarkan. Teman saya tersebut sudah lulus magister di Indonesia dengan jurusan yang sama seperti yang akan saya ambil dan sedang menjalani pendidikan doktoralnya).
Singkat kata, saya akhirnya mendaftar ke Unimelb lewat agen pendidikan dengan percaya diri yang masih pas-pasan. Saya menunggu jawaban dari kampus tsb cukup lama (sekitar 2 bulan), bahkan sampai penutupan seleksi administrasi LPDP. Namun puji Tuhan, saya diterima di Unimelb dengan unconditional LoA. Saya menjadi lebih berani untuk melangkah ke step berikutnya untuk beasiswa LPDP. Step berikutnya adalah online assessment, semacam tes kepribadian, dan puji Tuhan saya masih lulus.
Lalu tibalah tes paling esensial. Seleksi substansi yang terdiri dari tes essay on the spot, LGD, dan interview pada tanggal 26 September 2017, 3 hari sebelum hari ulang tahun saya.
Memasuki gedung tempat penyelenggaraan tes, saya masih cukup percaya diri, namun sekali lagi, ketika berjumpa dengan kandidat lain, saya merasa terintimidasi lagi. Melihat mereka berlatih wawancara, membaca ini-itu, membawa bundelan ini-itu, dan membicarakan pengalaman hidup dan dedikasi mereka, saya malah jadi ciut dan bersedih. Saya sehari-hari hanya bekerja sebagai staf administrasi pada kantor distributor alat-alat rumah tangga. Saya tidak punya dedikasi hebat dan saya seakan kehabisan pengalaman yang dapat diceritakan. Saya merasa pengalaman hidup saya bukan apa-apa, saya merasa kecil diantara orang-orang tersebut.
Tes pertama dan kedua yang saya lalui adalah EOTS dan LGD. Pada tes ini, saya merasa masih bisa cukup survive untuk melaluinya. Namun menjelang tes ketiga, saya mulai disergap rasa khawatir yang hebat. Waktu itu sudah sore hari. Saya duduk menunggu giliran dipanggil untuk interview sembari mengingat-ingat apa yang sudah saya 'hafalkan' dari rumah namun sepertinya sudah tidak masuk otak lagi. Sempat waktu itu saya seperti mau pulang saja karena tidak bisa mengatasi perasaan khawatir. Lalu saya berdoa di dalam hati dan mengingat bagaimana Tuhan membawa saya sampai sejauh itu. Akhirnya saya menjadi sedikit lebih baik.
Pada akhirnya nama saya dipanggil dan saya memasuki 'arenanya'. Saya berhadapan dengan 3 orang pewawancara. Sebelum semuanya dimulai, saya membisikkan doa di dalam hati saya dan nantinya saya mengamini bahwa doa tersebut yang membuat saya tidak sampai 'terkapar' di ruangan wawancara sebelum semua prosesnya selesai. Saya diwawancarai dengan wawancara berbahasa Inggris full dari awal sampai akhir selama kurang lebih 40 menit, namun saya ingat ada 2-3 kalimat yang saya ucapkan dalam bahasa Indonesia karena saya kehabisan vocabulary untuk menjelaskan kepada pewawancara mengenai maksud saya.
Selama 40 menit, saya dicecar (bahkan ketika menulis tulisan ini, saya masih bisa merasakan atmosfer wawancara waktu itu). Saya harus mengakui, bahwa saya memang kurang persiapan. Bahkan di saat kandidat lain sudah mempersiapkan proposal tesisnya, saya datang ke wawancara bahkan tanpa membawa bekal judul tesis. Sebenarnya bukan karena saya tidak memikirkan hal ini sebelumnya, namun karena s2 saya by coursework, maka saya merasa belum perlu mempersiapkan tesis. Dan lagi, background saya adalah manajemen keuangan dan s2 yang akan saya ambil adalah manajemen sumber daya manusia, maka saya masih terbuka untuk segala kemungkinan penelitian. Dalam hati, saya merasa dengan belajar nanti, akan ada inspirasi untuk meneliti. Namun hal seperti ini rupanya tidak cukup untuk beasiswa sebesar LPDP. Saya juga dicecar mengapa saya harus kuliah sampai ke luar negeri untuk jurusan yang sebenarnya ada di Indonesia. Entah alasan saya yang tidak cukup kuat yang mengatakan bahwa mata kuliahnya yang berbeda dengan yang ada di Indonesia dan keinginan saya untuk mengembangkan jaringan dan kesempatan untuk menjadi duta Indonesia, pewawancara nampaknya tidak cukup puas.
Saya merasa 40 menit wawancara LPDP waktu itu adalah 40 menit wawancara paling berat buat saya. Bahkan mungkin karena pewawancara 'terlanjur' menangkap ketidaksiapan saya, bahasa Inggris saya yang ada kesalahan juga ikut dipermasalahkan cukup intens. IPK S1 saya yang cumlaude namun dengan jeda menganggur yang cukup lama dan kesulitan mendapatkan pekerjaan juga turut menjadi pembahasan. Di beberapa pertanyaan juga jawaban saya dipotong dan dilanjutkan ke pertanyaan berikut (mungkin karena penjelasan saya terlalu panjang--percayalah, saya hampir menangis mengetik bagian ini 😂).
Ohya, saya juga 'sedikit' menyesal karena terlalu banyak menjelajah blog para penerima beasiswa LPDP. Kebanyakan menjelajah blog dan membaca pengalaman wawancara orang lain, tanpa sadar mempengaruhi saya ketika berlatih wawancara di rumah. Otak saya seperti membuat standar jawaban wawancara 'yang ideal' menurut apa yang sudah saya baca dan hal itu menjadi patokan ketika saya berlatih. Hal ini ternyata membuat orisinalitas saya agak terkikis. Sekali lagi, ini adalah opini pribadi. Saya tidak tahu apakah hal ini juga ada terjadi pada kandidat lain, namun personally saya mengalaminya.
Setelah 40 menit saya berakhir, saya keluar dari ruang wawancara. Hal pertama yang terlintas di pikiran adalah 'saya memang tidak layak untuk beasiswa sebesar ini'. Hahaha. Saya tahu ini ungkapan sangat pesimis dari seorang kandidat LPDP yang padahal harusnya nanti menjadi future leader untuk Indonesia, tapi di blog ini saya hanya ingin jujur pada diri sendiri bahwa saya pernah merasa kecil seperti ini. Saya merasa begitu tertekan setelah wawancara dan sempat merasa saya bukan orang yang cukup baik untuk melakukan apapun. Saya merasa ingin lari dari kenyataan. Saya tidak sedang menyalahkan pewawancara atas apa yang saya alami ini. Mereka memang bertanggung jawab untuk mendapatkan kandidat yang paling baik dan wajar saja mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan pada saya.
Hari berlalu hingga hari ini. Saya merasa Tuhan yang memulihkan perasaan saya tiap-tiap hari hingga saya akhirnya berani menulis ini semua. Bukan tanpa tekanan saya menuliskan pengalaman ini. Setiap kalimat yang saya tulis membuat saya terbang ke saat saya wawancara dan mau tidak mau harus merasakan lagi 'situasinya'. Namun meskipun saya belum pulih seluruhnya, tulisan ini akan saya jadikan tanda bahwa saya harus berjuang untuk tidak tenggelam lama-lama dalam perasaan kecil ini. Sebaliknya, saya harus berlari lebih kencang untuk mengejar ketertinggalan saya sembari merenungkan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai anak muda Indonesia.
Pengumuman belum keluar namun saya tetap tidak cukup berani untuk berharap. Saya merasa tidak layak untuk mengharapkannya. Namun pagi kemarin ketika saya ke gereja, satu hal ini meluncur begitu saja ketika saya berdoa, "Will You give me a chance?"
Medan, 16 Oktober 2017.
00.23
EL