Pernah
ada perjalanan panjang di satu senja, saat aku berkendara dengan sepeda motor
selama hampir dua jam bersama temanku Ikhsan. Saking lelahnya, kami memutuskan
untuk beristirahat di sebuah warung bandrek di tepi jalan lintas daerah.
Saat
aku selesai mengunci motor, mataku tertumbuk pada seorang perempuan
muda yang duduk di salah satu bangku yang tersedia di warung itu. Perempuan itu
tengah menghidu bandrek di depannya, lalu tersenyum: puas. Aku sampai tertegun.
Puluhan tahun sudah aku minum bandrek di warung sana-sini, tapi tidak pernah
merasakan sensasi yang luar biasa lantas bertingkah seperti dia. Bandrek
terlalu sederhana. Diam-diam dalam hati aku mulai menyusun rencana.
“Bandrek
di sini enak ya?” kataku seraya mengambil posisi duduk di hadapannya. Bahuku sempat membentur
bahu Ikhsan—sengaja—karena sempat kulihat ia tertawa mendengar pertanyaanku.
Ah, dengan dia aku memang selalu ketahuan saat menggoda perempuan. “Bandrek
satu Pak!” seruku pada yang empunya warung.
Perempuan
itu lantas mendongakkan kepala dan memandangku sekilas. Ia belum menjawab, hanya
tersenyum. Manis sekali. “Dimana-mana bandrek selalu enak,” katanya.
“Kok
saya merasa tidak begitu ya?” balasku bersemangat. Dalam hati kuterka-terka apa selanjutnya
yang akan ia katakan.
“Mungkin
karena kamu biasa jalan-jalan,” sahut perempuan itu sekenanya.
Mataku
membeliak, “kenapa kamu bilang begitu?”
“Karena
saya tidak biasa jalan-jalan, makanya bandrek selalu enak,” ia lalu tertawa. Bisa
kulihat giginya kecil-kecil. Ia terlihat semakin menarik. “Kamu mau kemana?”
tanyanya padaku.
“Ng…,
ke Sibolga.”
“Wisata?”
“Bukan.
Mau ketemu ibu.”
“Oh,
kampungnya di sana?”
“Ya.”
“Datang
dari mana? Biar saya tebak. Padangsidimpuan?”
“Ya.”
“Di
Padangsidimpuan kerja?”
Untuk
ketiga kali aku mengatakan, “ya.”
Saat
itulah bandrek pesananku tiba dan ia tidak bertanya lagi. Kami sama-sama diam
demi menekuni minuman itu. Mendadak aku merasa bodoh karena sudah buang-buang waktu
dan kesempatan dengan cuma menjawab ya-ya-ya. Aku mulai berpikir keras,
berusaha mencari bahan pembicaraan.
“Kalau
kamu… mau kemana?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat.
“Saya?
Saya nggak mau kemana-mana,” jawabnya enteng.
“Terus,
kenapa di sini? Di jalan lintas ini?”
“Emangnya
tidak boleh?”
“Bukan…,
maksud saya, cuma mau minum bandrek?”
“Tidak
juga. Saya bisa minum dimana saja suka.”
“Lalu,
di sini? Kenapa?”
“Ya
karena saya suka,” ia kembali tertawa. Gigi kecil-kecil itu terlihat lagi.
“Kok
saya tidak mengerti ya,” kataku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Tidak
ada yang memaksa kamu harus mengerti kan? Kamu datang ke sini, saya datang ke
sini. Kita tidak saling kenal, lalu kenapa harus saling mengerti?”
“Kalau
begitu mari kenalan. Aku Pras,” tukasku semakin bersemangat. Tapi bukannya memberitahukan
namanya, ia malah menatapku lamat-lamat dengan sorot mata menelanjangi. Baru sekali itu
aku ditatap begitu hingga mukaku terpaksa beralih ke arah lain.
“Kamu
tahu tidak Pras, perjalanan itu menyedihkan. Yang tidak terbiasa sedih, sudah
pasti memilih kembali ke titik awal perjalanan tanpa sempat menyelesaikannya atau bahkan memulainya.
Kamu golongan orang-orang hebat,” katanya dengan mimik serius.
“Setiap
melakukan perjalanan, apakah kamu selalu bahagia, Pras?” Aku mengangguk. “Kalau
perjalanan yang makan waktu sangat panjang, bahagia juga?” Kembali aku
mengangguk, “aku terbiasa melangkah maju,” jawabku dengan pasti. Setelah mendengar itu, ia
tersenyum. Kali ini kecut.