Rabu, 23 Desember 2015

CERPEN: BERTEMU



Hari telah senja dan waktu semakin tua untuk menjaga kita dalam perseberangan ini. Sering aku bersembunyi di tempat yang kau sukai, siapa tahu kau datang saat ada waktu dan tidak sengaja bertemu aku, jadinya kita bisa mencoba baikan. Aku memang cikal-bakalmu, tapi bukan berarti cuma aku yang berharga dan kau tidak. Sumpah, aku menjerit karena patah hati, patah arang. Kepergianmu sudah terlalu lama dan hampir aku lupa bagaimana wajahmu, dimana persisnya letak tahi lalat yang sejak kita masih muda sudah kunobatkan sebagai penyebab kecantikanmu.

Hingga hari ini, tidak terhitung banyaknya musim yang kulewati, rumah-rumah yang kusinggahi, dan tanaman yang kunikmati tumbuh dan layunya, hanya untuk mengesampingkan kerinduan akan kepulanganmu. Masih ingat kan dulu? Dulu—bertahun-tahun yang lalu, kita pernah duduk mesra di dekat cadas, melihat bagaimana debur ombak membenturkan tubuhnya di lengan cadas itu demi memberi tontonan buat pelupuk kita. Kau dan aku rapat, menghayati debur dan dentum. Membiarkan angin merasuki relung yang berisi cerita-cerita bahagia tentang masa depan. Ah, seandainya waktu bisa diputar dan saat itu kita membuat perjanjian agar yang satu jangan mengkhianati yang lain, tentu saat ini aku tidak seorang diri menonton mawar yang mekarnya buru-buru.
Kau tahu, sejak kau putuskan pergi dengan dia dan meninggalkan tempat yang pernah kau sebut ‘rumah kita’, meja makan yang ada di dalamnya tidak lagi berpenghuni. Aku pensiun untuk mendudukinya karena jika berada di sana, ingatanku bisa berubah liar. Ia bahkan sanggup menyulut air mata kala aku mengenang dua orang yang pernah makan malam bersama di sana sambil berlomba mengurutkan buah-buah sesuai abjad, atau memberikan nama lain buat anjing-anjing tetangga. Sudah lama kedua orang itu tidak saling menyapa dan berterus terang. Bahkan jika sanggup dihitung, angkapun tak kuasa untuk menyatakannya. Banyaknya hari yang terbuang sudah melebihi jumlah bintang di langit saat permukaannya bersih. Udara saja mengeluh karena mulut salah seorang melulu menghembuskan huruf-huruf  yang ada di nama seorangnya lagi. Jangan bilang ia frustrasi, keadaannya lebih parah dari itu. Tempat itu kini telah menjelma ruang yang kehabisan oksigen, sedangkan hati yang tertinggal... ah sudahlah.

Kalau mau jujur, kadang aku berpikir apakah aku telah salah memberikanmu kebebasan. Bebas menjejak jalan apa saja, berlari kemana saja asal jangan kau jatuhkan dirimu itu. Katakan, telahkah salah caraku mencintaimu hingga cara itu membuat aku kalah banyak? Memang kalau kata orang aku tidak pernah kalah, tapi sejujurnya aku pernah merasa kalah. Merasa cemburu pada dia yang sepertinya lebih membuatmu tertarik untuk bergantung. Pada dia yang ciri-cirinya kau tulis di buku harian dan inisialnya kau ukir di balik lemari pakaian. Aku betulan cemburu Rus, karena semua tentang dia kau tahu sementara mataku saja kau tidak tahu plus atau minus.

Ingat tidak apa yang kau lakukan padaku terakhir kali di rumah kita? Sebenarnya ingin kulupakan, tapi aku sudah terbentuk untuk tidak gampang melupakan. Aku masih ingat bagaimana kau melaga aku dengan dia dan menepis ikatan kita yang umurnya jauh lebih lama dibandingkan monyet-moyetanmu dengannya. Kau berkata padanya, “Ayo pergi dari sini. Sudah terlalu lama ia mengekangku. Aku muak tinggal bersamanya!” Rus, seandainya aku bisa, ingin sekali waktu itu aku bertanya bagian mana yang membuatmu terkekang. Apakah perlindunganku yang sedemikian rupa, atau ketidakrelaanku kau terluka? Bagaimana mungkin kau merasa dikekang kala aku mengasihimu dalam kebebasan?

Rus, janjiku dulu pada ibumu hanyalah akan mengurusimu dengan cinta. Tapi mungkin aku harus minta maaf padanya nanti di keabadian, karena padamu aku memang masih cinta, tapi aku bukan lagi seseorang yang bisa mengurusi. Kalau nanti dia tanya apa hal terakhir yang bisa kulakukan, aku akan jawab: menanti dengan rindu dering telepon di ruang tamu. Berharap ada keajaiban menyeruak dari sana: suaramu.

Rus, puteriku, kesayanganku. Aku hanya mau kau kembali dan kita bertemu. Kau bawakan aku apa yang dulu pernah manis di antara kita: cinta yang memakai hati, bukan mata.

 EL

12 komentar:

  1. Nama panjangnya si Rus itu siapa? Ga nyangka kk El skrg jd penulis berbakat, knpa ga jd petinju aja? Hahhaa.. #YNWA

    BalasHapus
  2. EL buat cerita tentang Onara dongg. wkwk :D

    BalasHapus
  3. Hatiku terblender mendengar tulisan indahmu ini. Kau memang sangat berbakat menjadi polwan.lanjutkan coretan2 tak seberapamu ini. Aku kan setia menjadi pendengarnya. Dari goa relung hati yang menembus inti bumi dan berbalut kegelapan sunyinya sukma jiwa ini aku merasakan fantasi kenikmatan dan candu akan tulisanmu.. Sampaikan salamku pada si rus. Lan. :D

    BalasHapus
  4. Hatiku terblender mendengar tulisan indahmu ini. Kau memang sangat berbakat menjadi polwan.lanjutkan coretan2 tak seberapamu ini. Aku kan setia menjadi pendengarnya. Dari goa relung hati yang menembus inti bumi dan berbalut kegelapan sunyinya sukma jiwa ini aku merasakan fantasi kenikmatan dan candu akan tulisanmu.. Sampaikan salamku pada si rus. Lan. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cita-citaku memang mau jadi polwan makanya aku menulis haha. Ga nyambung kali kau ya John. Tp makasih komenmu yg sangat aduhai sastrawi itu yaaa ternyata kau bakat juga jualan obat hahaha. Nnt salammu kusampekan sama Rusdianto :D

      Hapus