Rabu, 23 November 2016

NUMB.

Hai, apakah aku masih hidup?
Tubuhku memang menghirup oksigen dan membuang karbondioksida,
tapi jiwaku sudah kehilangan kekuatan untuk melanjutkan jalan.
Terlalu lama diperangkap pikiran.
Aku terkungkung.
Waktu menjelma algojo berdarah dingin.
Dia tidak menerkam di depan.
Namun lambat-lambat ditusuknya aku lewat belakang.

Aku telah gagal mendefinisikan kehidupanku.
Untuk apa aku hidup?
Kenapa aku hidup?

Kini,
Aku tidak lagi merasakan apa-apa.
Tidak juga dibebani apa-apa.
Aku tidak merasa sedang dituntut: oleh aku atau siapapun.

Aku hanyalah onggokan daging bergerak,
Yang mesti menurut waktu.
Awalnya aku merasa nyeri tiap pagi.
Namun kini itu tidak lagi.
Mati rasa.
Malahan, apa itu rasa?
Aku lupa.

Siapa yang mau menolong?
Aku kehabisan akal.
Habis daya.
Habis lesap dimakan masa.


Ya, memang sudah habis.


23 Nov 2016
EL_


Senin, 07 November 2016

Tentang Ayah dan Sebuah Rindu

Baca dulu:
http://rasakatarasa.blogspot.co.id/2015/12/cerpen.html?m=1

Begitu lama aku tidak pulang ke rumah ayahku. Aku telah kehilangan gambaran seberapa renta ia. Lalu karena tumpukan masalah yang membebaniku beberapa tahun terakhir, aku mulai sering mengenangnya. Mengenang masa yang kami habiskan berdua saja; mengenang ia yang sebetulnya selalu berusaha membuat aku merasa aman. Nyaman. 

Manusia itu lucu ya? Aku adalah anak emas ayahku, anak yang sedari muda di dijauhkannya dari luka, yang dijaganya dari mala, tapi kala dewasa lebih memilih jalan antah-berantah yang ujung-ujungnya membuat aku tak tentu arah.

Prama. Dia adalah risiko yang kuambil dengan hati bulat kala aku angkat kaki dari rumah ayahku. Memilih dia saat itu dibanding ayah terasa seperti pilihan yang paling benar dari apapun. Dia bagiku bukan hanya masa depan, tapi juga ujung. Kupikir berujung dengannya akan menyulap hidupku menjadi lebih semarak dibandingkan hidup bersama bunga-bunga peninggalan ibu yang dinantikan ayah musim mekarnya. Prama terasa lebih indah daripada mawar atau anyelir. Masih bisa kurasakan perasaanku kala itu ketika dengan tegas aku mengambil keputusan. Aku puas bisa minggat dengan Prama. 

Lalu kini--pada tahun-tahun yang rumit ini--tidak ada yang kudapat kecuali Prama yang membuat hati nelangsa setiap malam dan vertigo yang menyerang setiap pagi. Hampir karam aku karena risiko bernama Prama. Setengah gila oleh ujung itu. Ia bukan saja membuat aku lelah karena keluhannya dan tuntutannya, ia juga membuat otakku berperang dengan hatiku setiap hari. Hidup dengan Prama adalah langkah paling tak logis yang kupaksakan untuk ditempuh.

Kepada Prama--jujur--sebenarnya aku masih cinta. Tapi rasa cintaku pada dia telah menyamai rinduku pada ayah. Mungkin juga lebih.

Apakah aku masih bisa kembali? Ke rumah kami yang dikelilingi tetangga yang suka memelihara anjing, ke rumah kami, yang masih membungkus rapi kenangan aku dan ayah menikmati mawar merekah? Aku tidak dapat meninggalkan Prama, tidak juga dapat menahan rindu pada ayah. Mungkinkah ayah bersedia baikan dengan Prama? Tidak. Tidak mungkin. Ayah sangat menyayangiku dan jika diketahuinya apa yang sudah kualami di episode hidupku dengan Prama, semakin ingin ia melenyapkan laki-laki itu demi melindungiku. Namun aku telah berjuang menerima Prama sampai sejauh ini. Rasanya sulit melepaskan dia. Entah perkara sulit atau karena sudah terlanjur bersama, aku juga tidak tahu membedakannya.

Aku benar-benar marah pada aku. Pada keadaan. Pada waktu. Pada segala hal yang pernah membiarkanku mengambil risiko yang salah.

Aku terjebak. 

Aku ingin melihat ayah, namun aku kehabisan cara untuk pulang. Yang tersisa hanyalah sebuah depresi karena rindu yang tidak dikatakan.


EL