Senin, 04 Januari 2016

PELAJARAN SETELAH GAGAL

Haluuu…
Sepertinya sudah lama saya tidak mengisi blog ini. Kemarin habis berjuang untuk tes masuk kerja but it turned out that the girl who did not pass the tests was ME!

Jalan hidup saya sepertinya masih belum rela move on dari kegiatan berburu pekerjaan. Baru-baru ini saya ujian sebanyak tiga kali dan tiga kali juga saya gagal, yang satu di wawancara user, yang satu lagi di wawancara kompetensi, dan yang terakhir di tes kesehatan. Yang paling menyesakkan itu yang tes paling baru—actually a day ago,—gagal tes kesehatan. Padahal sebelumnya saya sudah me-list dan bertekad untuk melakukan beberapa hal dengan gaji pertama, ya semacam nazarlah, haha!

Saat saya tahu saya gagal, saya tiba-tiba de javu. Pikiran saya seperti kembali ke lebih dari lima tahun yang lalu, saat lagi musim-musimnya ujian masuk perguruan tinggi negeri. Dulu sekali—zaman SMA—saya sangat berambisi kuliah di UI. Keinginan tersebut membuncah setelah saya mendengar cerita teman chatting saya yang kakaknya kuliah di sana dengan jurusan Akuntansi. Yang saya tangkap waktu itu tentang UI bukan hanya kualitasnya, tapi juga soal gengsi dan harga diri. Bapak saya juga sering menyebutkan kalau kuliah di UI itu keren, terpandang, dan bla-bla-bla. Sebagai ABG, saya terpancing juga dan sejak saat itu mulai getol-getolan belajar di rumah dan di sekolah, even waktu istirahat di sekolah pun, saya gunakan untuk membahas soal tes masuk perguruan tinggi negeri.

Pada waktu itu, ada sedikit cerita. Dulu itu waktu SMA, saya masuk SMA IPA, tetapi belajar IPS untuk masuk UI. Kemarin alasannya sederhana. Mau masuk UI harus tahu diri. Saya tidak terlalu jago pelajaran IPA dan kalau boleh jujur, waktu saya lihat jurusan-jurusan yang disediakan untuk siswa IPA, kok saya tidak tertarik. Jadinya saya membulatkan tekad untuk jadi putri salju (salah jurusan), belajar IPS mati-matian untuk mengambil jurusan Akuntansi, Manajemen, dan Bahasa Inggris di SIMAK UI. Fyi, di zaman saya, SIMAK UI itu dilangsungkan sebelum kami UN, jadi waktu untuk belajar pelajaran IPS selama 3 tahun dalam tempo waktu sekian bulan memang kurang maksimal. Tapi yang seperti itu juga saya jabanin saking terobsesinya.

Namun, perjuangan saya yang habis-habisan siang malam itu tidak berbanding lurus dengan hasil yang saya dapatkan: I was failed! Perlu diingat lagi, waktu itu saya masih ABG yang ingin punya gengsi tinggi plus ambisi, dan ketika tahu bahwa saya tidak lulus, saya galau berkepanjangan. Setiap bangun pagi, mandi, makan, dan waktu sendirian, saya teringat akan kegagalan saya dan saya menangis. Saya curhat sedih-sedihan, baper-baperan pada semua orang, termasuk kakaknya teman chatting saya itu, padahal tidak kenal-kenal amat. Status Facebook saya penuh kegalauan dan mungkin banyak yang prihatin dan mencibir juga oleh karena postingan sampah saya.

Puncaknya adalah saat saya tidak bisa lagi mengambil UI sebagai universitas tujuan untuk tes masuk PTN berikutnya. Selain karena daya tampungnya yang terlalu sedikit (10 orang se-Indonesia kalau tidak salah untuk jurusan-jurusan di Fakultas Ekonomi), mama saya juga kurang restu kalau saya kuliah di Pulau Jawa oleh karena beberapa alasan. Maka, pupus sudah kesempatan untuk kuliah di UI.

Alhasil, sampai saya dinyatakan lulus masuk Manajemen USU, sampai masa OSPEK selesai dan bulan-bulan awal semester satu berjalan, saya masih tidak bisa menerima kenyataan kalau saya kuliah di USU, bukannya di UI; jas almamater saya warnanya hijau, bukannya kuning. Saya benar-benar merasa salah tempat dan berharap semua yang saya jalani adalah mimpi.

Lebih dari lima tahun sudah berlalu namun semua kejadian tersebut ternyata masih terekam jelas dalam ingatan. Somehow, potongan-potongannya melambung satu-persatu ketika saya tahu tidak lulus di tes kesehatan kemarin. I wonder what is wrong but do not get the answer. Rasa gagal dan bau kesedihannya masih sama seperti lima tahun lalu, apalagi ketika melihat orang rumah sedih, jadinya saya lebih sedih lagi. Tapi bedanya, kali ini saya memiliki pengendalian perasaan yang berbeda.

This is how it goes, pelajaran dari kegagalan saya di SIMAK UI dulu ternyata saya dapatkan beberapa tahun kemudian. Lewat kuliah di USU, pada satu hari yang kelabu di bulan Desember, saya memutuskan untuk datang ke satu paguyuban pelayanan. Sebenarnya, saya sudah mengikuti beberapa pelayanan selama kuliah dan they’re all good exactly, but for this one, I have to say that it’s different. Saya merasa menemukan arah yang dahulu kabur dan abu. Saya benar-benar seperti terlahir kembali dan tahu garis utama hidup yang seharusnya saya jalani. Pengalaman ini mungkin tidak akan pernah saya dapatkan kalau saja lima tahun lalu saya lulus SIMAK dan kuliah di UI. Mungkin saja saya masih terus berkutat dengan perkara-perkara seperti gengsi dan harga diri. So, I am very grateful for my newborn and will cherish the moment until forever.

Kalau ditarik lagi ke kegagalan saya yang barusan ini, saya persis tahu, hampir lulus itu rasanya tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Siapa yang bisa tetap biasa dengan kekalahan di detik-detik terakhir, di kondisi yang sudah sampai titik nadir, dan di masa-masa pengangguran yang belum bertepi.

Dan pada akhirnya, hanya satu ini yang dapat saya pegang: sebagaimana Tuhan menuntun saya untuk menemukan jawaban mengapa saya masuk ke perguruan tinggi yang tidak saya sukai, demikian pula suatu hari nanti atau mungkin beberapa tahun setelah ini Dia memberikan jawaban mengapa saya mesti gagal kali ini.

Kepasrahan ini tidak terjadi serta-merta tentu saja. Sebenarnya kalau diingat, saya kadang masih merasa tidak terima karena ada hal yang sepertinya ganjil, apalagi kejadiannya masih sangat baru. Tetapi saya berusaha untuk bersyukur. Bersyukur karena saya tidak banjir air mata seperti lima tahun yang lalu, bahkan meneteskan sebutir dari pelupuk pun tidak. Bersyukur karena perasaan saya begitu terkendali (karena mungkin saya sudah mengetahui garis utama kehidupan saya dan oleh sebab itu berusaha untuk tidak khawatir).

Sulit dibayangkan, tetapi itulah kenyataannya, saya dimampukan. Kelak, ketika saya membaca tulisan ini lagi dan telah menemukan jawabannya, saya akan menuliskan sekuelnya, hehe.

Sekian cerita sedih ini. Semoga dalam kebiruannya, masih ada yang merasa termotivasi.

PS: Hidup tidak mudah, saya tahu. Tapi Tuhan jauh melampaui ketidakmudahan itu. Dia sendiri yang akan menepati janji-Nya pada setiap kita. Amin.


EL

6 komentar:

  1. ditunggu sekuel selanjutnya Kakak, Jawaban dari setiap penantian :)

    BalasHapus
  2. aku baru baca beeet,
    im sure someday you (all of us too) will look to these gloomy days, then smile (in our case, we'll laugh out loud. Too loud, exactly).
    This too shall pass darl !
    :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiiinn... Smangat Onaraaa! Semoga 2016 ini makin cerah untuk kita semua :')

      Hapus