Senin, 25 Januari 2016

Tahun Baru, Kegiatan Baru!

Hola!
Ini adalah postingan saya yang kesekian. Masih soal-soal pekerjaan, kalau kemarin-kemarin tulisan saya agak menyerempet ke keadaan saya sebagai seorang jobless, yang kali ini 180 derajat perbedaannya. Yes, thank God, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan! Sebelum saya kasih tahu pekerjaan saya yang paling paling pertama ini, saya mau bercerita soal masa lalu saya ketika memilih pekerjaan.

As a matter of fact, saya sempat berada di titik dimana saya merasa superior. Seperti di postingan saya sebelumnya, saya menganggap bahwa mencari pekerjaan itu masalah gampang. Sebenarnya hal tersebut sifatnya laten karena setiap kali saya ingat, saya berusaha  menyingkirkannya jauh-jauh sebab jelas saya tahu sifat tersebut tidak baik. Nevertheless, perasaan superior tersebut bisa datang tiba-tiba ketika saya merenung, ketika saya sedang ingin memutuskan untuk meng-apply suatu pekerjaan, bahkan yang paling sering yakni ketika saya sedang tidak ada kerjaan (karena itu guys hati-hati dengan waktu kosong, karena hal-hal yang buruk bisa terjadi di saat itu dan meluap-luap di pikiran kita seperti api). Kalau saya pribadi mengatakannya perasaan tersebut adalah  sisa-sisa sifat ambisius saya di masa lalu.

Lalu pertanyaannya, kenapa saya merasa superior? Actually, saya malu untuk mengemukakannya. Saya malu dengan sifat buruk itu, tapi baiklah saya ceritakan. Saya itu sempat merasa saya terlalu pintar untuk meng-apply posisi ‘biasa’ atau perusahaan ‘biasa’. Ya, memang di tahun 2014, oleh beberapa tanggung jawab, saya ingin sekali mendapatkan pekerjaan di Medan. Namun ketika melihat info lowongan kerja perusahaan yang bahkan namanya saja saya tidak pernah dengar plus posisi yang ‘nggak banget’, saya kok merasa enggan melamar. Memang pada saat itu saya tidak bilang kalau saya terlalu ‘baik’ untuk perusahaan atau posisi tersebut, tapi secara tidak sadar, sekarang saya harus mengakui bahwa perasaan superior itulah yang menghantui saya.

Senin, 18 Januari 2016

PENGAMEN GURUKU HARI INI

Hari ini saya mendapatkan satu pengalaman berharga yang terlalu mengesankan jika tidak dibagikan.

Sore tadi saya dan Ruth—teman sayamelakukan aktivitas kami biasanya di hari Senin, melewati jalanan lengang habis pulang dari tempat kursus IELTS. Setibanya di bibir jalan, kami nangkring sebentar demi  menunggu angkot untuk kembali ke kosan. Hanya butuh sekian detik, angkot jurusan tempat tinggal kami sudah berhenti di depan kami, lantas aku dan Ruth pun bergegas memasuki angkutan tersebut dan mengambil posisi wenak untuk duduk. Sekilas ketika saya mau mengambil tempat duduk di dekat kaca, saya melihat seorang bapak usia sekitar 30-an duduk di pinggir bangku dekat pintu sambil memangku sekarung beras. Dalam hati, saya merasa seperti pernah lihat. Selang beberapa detik akhirnya saya ingat, dia Bapak tunanetra yang sebelumnya pernah saya lihat pada perjalanan yang mirip sore tadi, namun beberapa minggu yang lalu. Saya yakin karena ketika menyusur pandang ke arah semua penumpang di dalam angkot itu, saya mendapati isteri dan anak-anak beliau ikut juga—sama seperti tempo hari.

Sesaat setelah kami duduk, angkot itu pun melaju lambat-lambat oleh karena macetnya jalanan kota Medan di sore hari. Beberapa menit, kami tiba di lampu merah. Masih sekejap angkot kami berhenti namun sudah ada abang-abang muda yang berdiri di pintu angkot lengkap dengan gitarnya: dia pengamen. Si Abang pun mulai bernyanyi lagu rohani yang sangat familiar di telinga. (Sore tadi saya sedang tidak niat membagi duit pada pengamen tersebut dan jadilah saya mendengar secara gratisan, hehehe).

Masih beberapa baris si Abang pengamen menyanyi, tiba-tiba si Bapak tunanetra langsung berkata pada isterinya dengan bahasa Batak, “Lean jo hepeng I tu imana (tolong berikan uang kepadanya <pengamen>)”. Si isteri tanpa pikir panjang langsung menurut dan mengeluarkan uang pecahan lima ribu. Saya terperanjat juga. Seumur-umur saya tidak pernah memberikan pengamen jalanan uang sebanyak itu. Lalu si isteri memberikan uang tersebut pada si Bapak dan si Bapak mengatakan pada anak perempuannya, “Ini, kasih sama abang itu.” Anak itu juga menurut sembari meraih uang yang ada di tangan Bapaknya.

Setelah si Abang pengamen menyelesaikan lagunya, si anak perempuan langsung memasukkan uang tersebut ke plastik bungkusan warna abu yang tertempel di lengan gitar. Si Abang pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku melirik si Bapak. Seperti bisa merasakan, beliau juga ikutan tersenyum.

Senin, 04 Januari 2016

PELAJARAN SETELAH GAGAL

Haluuu…
Sepertinya sudah lama saya tidak mengisi blog ini. Kemarin habis berjuang untuk tes masuk kerja but it turned out that the girl who did not pass the tests was ME!

Jalan hidup saya sepertinya masih belum rela move on dari kegiatan berburu pekerjaan. Baru-baru ini saya ujian sebanyak tiga kali dan tiga kali juga saya gagal, yang satu di wawancara user, yang satu lagi di wawancara kompetensi, dan yang terakhir di tes kesehatan. Yang paling menyesakkan itu yang tes paling baru—actually a day ago,—gagal tes kesehatan. Padahal sebelumnya saya sudah me-list dan bertekad untuk melakukan beberapa hal dengan gaji pertama, ya semacam nazarlah, haha!

Saat saya tahu saya gagal, saya tiba-tiba de javu. Pikiran saya seperti kembali ke lebih dari lima tahun yang lalu, saat lagi musim-musimnya ujian masuk perguruan tinggi negeri. Dulu sekali—zaman SMA—saya sangat berambisi kuliah di UI. Keinginan tersebut membuncah setelah saya mendengar cerita teman chatting saya yang kakaknya kuliah di sana dengan jurusan Akuntansi. Yang saya tangkap waktu itu tentang UI bukan hanya kualitasnya, tapi juga soal gengsi dan harga diri. Bapak saya juga sering menyebutkan kalau kuliah di UI itu keren, terpandang, dan bla-bla-bla. Sebagai ABG, saya terpancing juga dan sejak saat itu mulai getol-getolan belajar di rumah dan di sekolah, even waktu istirahat di sekolah pun, saya gunakan untuk membahas soal tes masuk perguruan tinggi negeri.