Minggu, 21 Februari 2016

SINGGAH

Pernah ada perjalanan panjang di satu senja, saat aku berkendara dengan sepeda motor selama hampir dua jam bersama temanku Ikhsan. Saking lelahnya, kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung bandrek di tepi jalan lintas daerah.
Saat aku selesai mengunci motor, mataku tertumbuk pada seorang perempuan muda yang duduk di salah satu bangku yang tersedia di warung itu. Perempuan itu tengah menghidu bandrek di depannya, lalu tersenyum: puas. Aku sampai tertegun. Puluhan tahun sudah aku minum bandrek di warung sana-sini, tapi tidak pernah merasakan sensasi yang luar biasa lantas bertingkah seperti dia. Bandrek terlalu sederhana. Diam-diam dalam hati aku mulai menyusun rencana.
“Bandrek di sini enak ya?” kataku seraya mengambil posisi duduk di hadapannya. Bahuku sempat membentur bahu Ikhsan—sengaja—karena sempat kulihat ia tertawa mendengar pertanyaanku. Ah, dengan dia aku memang selalu ketahuan saat menggoda perempuan. “Bandrek satu Pak!” seruku pada yang empunya warung.
Perempuan itu lantas mendongakkan kepala dan memandangku sekilas. Ia belum menjawab, hanya tersenyum. Manis sekali. “Dimana-mana bandrek selalu enak,” katanya.
“Kok saya merasa tidak begitu ya?” balasku bersemangat. Dalam hati kuterka-terka apa selanjutnya yang akan ia katakan.
“Mungkin karena kamu biasa jalan-jalan,” sahut perempuan itu sekenanya.
Mataku membeliak, “kenapa kamu bilang begitu?”
“Karena saya tidak biasa jalan-jalan, makanya bandrek selalu enak,” ia lalu tertawa. Bisa kulihat giginya kecil-kecil. Ia terlihat semakin menarik. “Kamu mau kemana?” tanyanya padaku.
“Ng…, ke Sibolga.”
“Wisata?”
“Bukan. Mau ketemu ibu.”
“Oh, kampungnya di sana?”
“Ya.”
“Datang dari mana? Biar saya tebak. Padangsidimpuan?”
“Ya.”
“Di Padangsidimpuan kerja?”
Untuk ketiga kali aku mengatakan, “ya.”
Saat itulah bandrek pesananku tiba dan ia tidak bertanya lagi. Kami sama-sama diam demi menekuni minuman itu. Mendadak aku merasa bodoh karena sudah buang-buang waktu dan kesempatan dengan cuma menjawab ya-ya-ya. Aku mulai berpikir keras, berusaha mencari bahan pembicaraan.
“Kalau kamu… mau kemana?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat.
“Saya? Saya nggak mau kemana-mana,” jawabnya enteng.
“Terus, kenapa di sini? Di jalan lintas ini?”
“Emangnya tidak boleh?”
“Bukan…, maksud saya, cuma mau minum bandrek?”
“Tidak juga. Saya bisa minum dimana saja suka.”
“Lalu, di sini? Kenapa?”
“Ya karena saya suka,” ia kembali tertawa. Gigi kecil-kecil itu terlihat lagi.
“Kok saya tidak mengerti ya,” kataku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Tidak ada yang memaksa kamu harus mengerti kan? Kamu datang ke sini, saya datang ke sini. Kita tidak saling kenal, lalu kenapa harus saling mengerti?”
“Kalau begitu mari kenalan. Aku Pras,” tukasku semakin bersemangat. Tapi bukannya memberitahukan namanya, ia malah menatapku lamat-lamat dengan sorot mata menelanjangi. Baru sekali itu aku ditatap begitu hingga mukaku terpaksa beralih ke arah lain.
“Kamu tahu tidak Pras, perjalanan itu menyedihkan. Yang tidak terbiasa sedih, sudah pasti memilih kembali ke titik awal perjalanan tanpa sempat menyelesaikannya atau bahkan memulainya. Kamu golongan orang-orang hebat,” katanya dengan mimik serius.
“Setiap melakukan perjalanan, apakah kamu selalu bahagia, Pras?” Aku mengangguk. “Kalau perjalanan yang makan waktu sangat panjang, bahagia juga?” Kembali aku mengangguk, “aku terbiasa melangkah maju,” jawabku dengan pasti. Setelah mendengar itu, ia tersenyum. Kali ini kecut.