Minggu, 15 Oktober 2017

SELEKSI LPDP-PENGALAMAN HIDUP


Butuh waktu yang cukup lama buat saya untuk akhirnya berani menulis ini semua. Sebelumnya saya seperti diserang trauma yang hebat, perasaan 'tidak punya talenta', dan 'bukan apa-apa'. Saya semacam malu untuk mengakui bahwa saya ternyata memiliki begitu banyak kekurangan.

Pada tanggal 26 September 2017, saya mengikuti seleksi substansi beasiswa LPDP sebagaimana janji saya kepada diri sendiri di awal tahun 2017, yakni mengejar beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Strata 2. Namun sebelum ke hari-H yang penuh 'drama' tersebut, ada baiknya saya flashback dulu ke bulan-bulan sebelum tanggal tersebut.

Di tahun 2017, sebenarnya saya masih diserang rasa tidak percaya diri untuk melanjutkan S2 oleh karena saya meragukan potensi diri saya. Entah karena terlanjur berjanji di awal tahun atau entah karena memang dorongan dari dalam, saya tetap mengikuti prosesnya. Awal keraguan itu adalah ketika ingin memutuskan mengikuti tes IELTS. Bayangkan dari tahun 2015 saya les, berencana mengikuti tes di tahun 2016, namun baru realisasi di April 2017, dan itu juga karena dorongan seorang teman baik yang sangat sabar bernama Yohana. Kurasa kalau dia tidak ada, saya tidak akan berani ujian IELTS. Alasannya sederhana: biaya yang mahal dan takut mengulang kalau skornya tidak sesuai harapan. Ah, saya memang 'dianugerahi' perasaan khawatir yang berlebihan. 

Di hari H tes IELTS, saya menyusuri lorong hotel menuju lokasi yang dipakai sebagai tempat berlangsungnya tes. Setibanya di sana, saya langsung melihat kandidat-kandidat lain juga sudah ada di situ. Penampilan mereka yang memberikan kesan percaya diri entah kenapa membuat saya merasa cukup terintimidasi. Udara dingin dari pendingin ruangan bukannya malah membuat rileks, malah seperti membuat tekanan darah saya menurun. Saya lemas bahkan sebelum tes dimulai.

Singkat kata, saya melewati tes dengan tidak maksimal. Yang saya yakin saya cukup baik hanya di tes speaking dan sisanya saya seperti kurang konsentrasi. Ketika rangkaian tes usai, saya keluar hotel dengan hati gontai. Dalam hati saya merasa sedih karena telah menyia-nyiakan uang sekian juta dan kesempatan berharga karena tidak maksimal. 

Lalu dua minggu kemudian, sebuah keajaiban terjadi. Dengan hampir tidak bisa bernafas saya mengakses link hasil tes IELTS and the result was unbelievable. Saya mendapatkan skor tepat seperti kebutuhan standar mendaftar beasiswa LPDP untuk kampus luar negeri: 6,5. Buat saya, hal tersebut di luar logika. Jika ada orang yang menjadi saksi ketika saya tes, maka ia juga akan mengatakan, "you did it so bad." Ini di luar kuasa saya.

Lalu berlanjut ke step berikutnya, mendaftar ke universitas. Ketika banyak orang yang mengejar beasiswa ini mendaftar ke banyak kampus di luar negeri untuk mendapatkan the best unconditional letter of acceptance (LoA penuh), sejak awal saya telah memutuskan untuk mendaftar hanya pada 1 kampus. Alasannya masih sederhana, saya tidak punya cukup tabungan untuk mendaftar ke sana kemari, oleh karena itu saya harus memilih kampus dengan mata kuliah, syarat, dan biaya pendaftaran paling affordable.

Saya menjelajahi internet selama beberapa waktu untuk akhirnya memilih the University of Melbourne dan Human Resource Management sebagai jurusannya. Mengapa Human Resource Management? Alasan juga sederhana, basic saya manajemen dan saya tertarik berhubungan dan belajar tentang manusia meskipun di beberapa kesempatan saya gagal membina hubungan yang baik dengan orang lain ataupun masih 'takut' berurusan dengan orang seperti ini atau itu. Selain itu, mata kuliah yang ditawarkan juga menarik hati dan membangkitkan minat saya untuk belajar. Saya juga punya niatan untuk pulang kampung dan jika punya kesempatan ikut membantu orang-orang di sana untuk menemukan passion mereka sebagai manusia (hanya itu, saya tidak bertanya pada expert seperti yang dilakukan kandidat lain di LPDP, saya hanya melakukan semacam comparison dengan teman saya mengenai mata kuliah yang ditawarkan. Teman saya tersebut sudah lulus magister di Indonesia dengan jurusan yang sama seperti yang akan saya ambil dan sedang menjalani pendidikan doktoralnya).

Singkat kata, saya akhirnya mendaftar ke Unimelb lewat agen pendidikan dengan percaya diri yang masih pas-pasan. Saya menunggu jawaban dari kampus tsb cukup lama (sekitar 2 bulan), bahkan sampai penutupan seleksi administrasi LPDP. Namun puji Tuhan, saya diterima di Unimelb dengan unconditional LoA. Saya menjadi lebih berani untuk melangkah ke step berikutnya untuk beasiswa LPDP. Step berikutnya adalah online assessment, semacam tes kepribadian, dan puji Tuhan saya masih lulus.

Lalu tibalah tes paling esensial. Seleksi substansi yang terdiri dari tes essay on the spot, LGD, dan interview pada tanggal 26 September 2017, 3 hari sebelum hari ulang tahun saya.
Memasuki gedung tempat penyelenggaraan tes, saya masih cukup percaya diri, namun sekali lagi, ketika berjumpa dengan kandidat lain, saya merasa terintimidasi lagi. Melihat mereka berlatih wawancara, membaca ini-itu, membawa bundelan ini-itu, dan membicarakan pengalaman hidup dan dedikasi mereka, saya malah jadi ciut dan bersedih. Saya sehari-hari hanya bekerja sebagai staf administrasi pada kantor distributor alat-alat rumah tangga. Saya tidak punya dedikasi hebat dan saya seakan kehabisan pengalaman yang dapat diceritakan. Saya merasa pengalaman hidup saya bukan apa-apa, saya merasa kecil diantara orang-orang tersebut. 

Tes pertama dan kedua yang saya lalui adalah EOTS dan LGD. Pada tes ini, saya merasa masih bisa cukup survive untuk melaluinya. Namun menjelang tes ketiga, saya mulai disergap rasa khawatir yang hebat. Waktu itu sudah sore hari. Saya duduk menunggu giliran dipanggil untuk interview sembari mengingat-ingat apa yang sudah saya 'hafalkan' dari rumah namun sepertinya sudah tidak masuk otak lagi. Sempat waktu itu saya seperti mau pulang saja karena tidak bisa mengatasi perasaan khawatir. Lalu saya berdoa di dalam hati dan mengingat bagaimana Tuhan membawa saya sampai sejauh itu. Akhirnya saya menjadi sedikit lebih baik.

Pada akhirnya nama saya dipanggil dan saya memasuki 'arenanya'. Saya berhadapan dengan 3 orang pewawancara. Sebelum semuanya dimulai, saya membisikkan doa di dalam hati saya dan nantinya saya mengamini bahwa doa tersebut yang membuat saya tidak sampai 'terkapar' di ruangan wawancara sebelum semua prosesnya selesai. Saya diwawancarai dengan wawancara berbahasa Inggris full dari awal sampai akhir selama kurang lebih 40 menit, namun saya ingat ada 2-3 kalimat yang saya ucapkan dalam bahasa Indonesia karena saya kehabisan vocabulary untuk menjelaskan kepada pewawancara mengenai maksud saya.

Selama 40 menit, saya dicecar (bahkan ketika menulis tulisan ini, saya masih bisa merasakan atmosfer wawancara waktu itu). Saya harus mengakui, bahwa saya memang kurang persiapan. Bahkan di saat kandidat lain sudah mempersiapkan proposal tesisnya, saya datang ke wawancara bahkan tanpa membawa bekal judul tesis. Sebenarnya bukan karena saya tidak memikirkan hal ini sebelumnya, namun karena s2 saya by coursework, maka saya merasa belum perlu mempersiapkan tesis. Dan lagi, background saya adalah manajemen keuangan dan s2 yang akan saya ambil adalah manajemen sumber daya manusia, maka saya masih terbuka untuk segala kemungkinan penelitian. Dalam hati, saya merasa dengan belajar nanti, akan ada inspirasi untuk meneliti. Namun hal seperti ini rupanya tidak cukup untuk beasiswa sebesar LPDP. Saya juga dicecar mengapa saya harus kuliah sampai ke luar negeri untuk jurusan yang sebenarnya ada di Indonesia. Entah alasan saya yang tidak cukup kuat yang mengatakan bahwa mata kuliahnya yang berbeda dengan yang ada di Indonesia dan keinginan saya untuk mengembangkan jaringan dan kesempatan untuk menjadi duta Indonesia, pewawancara nampaknya tidak cukup puas.

Saya merasa 40 menit wawancara LPDP waktu itu adalah 40 menit wawancara paling berat buat saya. Bahkan mungkin karena pewawancara 'terlanjur' menangkap ketidaksiapan saya, bahasa Inggris saya yang ada kesalahan juga ikut dipermasalahkan cukup intens. IPK S1 saya yang cumlaude namun dengan jeda menganggur yang cukup lama dan kesulitan mendapatkan pekerjaan juga turut menjadi pembahasan. Di beberapa pertanyaan juga jawaban saya dipotong dan dilanjutkan ke pertanyaan berikut (mungkin karena penjelasan saya terlalu panjang--percayalah, saya hampir menangis mengetik bagian ini 😂).

Ohya, saya juga 'sedikit' menyesal karena terlalu banyak menjelajah blog para penerima beasiswa LPDP. Kebanyakan menjelajah blog dan membaca pengalaman wawancara orang lain, tanpa sadar mempengaruhi saya ketika berlatih wawancara di rumah. Otak saya seperti membuat standar jawaban wawancara 'yang ideal' menurut apa yang sudah saya baca dan hal itu menjadi patokan ketika saya berlatih. Hal ini ternyata membuat orisinalitas saya agak terkikis. Sekali lagi, ini adalah opini pribadi. Saya tidak tahu apakah hal ini juga ada terjadi pada kandidat lain, namun personally saya mengalaminya.

Setelah 40 menit saya berakhir, saya keluar dari ruang wawancara. Hal pertama yang terlintas di pikiran adalah 'saya memang tidak layak untuk beasiswa sebesar ini'. Hahaha. Saya tahu ini ungkapan sangat pesimis dari seorang kandidat LPDP yang padahal harusnya nanti menjadi future leader untuk Indonesia, tapi di blog ini saya hanya ingin jujur pada diri sendiri bahwa saya pernah merasa kecil seperti ini. Saya merasa begitu tertekan setelah wawancara dan sempat merasa saya bukan orang yang cukup baik untuk melakukan apapun. Saya merasa ingin lari dari kenyataan. Saya tidak sedang menyalahkan pewawancara atas apa yang saya alami ini. Mereka memang bertanggung jawab untuk mendapatkan kandidat yang paling baik dan wajar saja mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan pada saya.

Hari berlalu hingga hari ini. Saya merasa Tuhan yang memulihkan perasaan saya tiap-tiap hari hingga saya akhirnya berani menulis ini semua. Bukan tanpa tekanan saya menuliskan pengalaman ini. Setiap kalimat yang saya tulis membuat saya terbang ke saat saya wawancara dan mau tidak mau harus merasakan lagi 'situasinya'. Namun meskipun saya belum pulih seluruhnya, tulisan ini akan saya jadikan tanda bahwa saya harus berjuang untuk tidak tenggelam lama-lama dalam perasaan kecil ini. Sebaliknya, saya harus berlari lebih kencang untuk mengejar ketertinggalan saya sembari merenungkan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai anak muda Indonesia.

Pengumuman belum keluar namun saya tetap tidak cukup berani untuk berharap. Saya merasa tidak layak untuk mengharapkannya. Namun pagi kemarin ketika saya ke gereja, satu hal ini meluncur begitu saja ketika saya berdoa, "Will You give me a chance?"


Medan, 16 Oktober 2017.
00.23
EL

Rabu, 04 Januari 2017

NEW YEAR, NEW HOPE!

Halo. Happy new year me!
Akhirnya sempat juga saya menulis di blog yang nggak seberapa ini, hehe. Dari kemarin-kemarin saya mau nulis tapi oleh karena hal ini-itu jadinya nggak sempat.
Okay langsung saja, saya sangat bersyukur sekali karena tahun lalu (2016) sudah berakhir dan datanglah tahun baru yang sangat saya nantikan ini.

Review sedikit, kalau ditarik mundur ke tahun lalu--2016--itu adalah masa sulit di dalam hidup saya. Perasaan naik-turun,  kekhawatiran yang tidak perlu, ketakutan yang mencekam, depresi dan mati rasa silih berganti datang mewarnai hidup saya selama setahun. Of course ada bahagia-bahagianya juga, misalnya bertemu teman-teman, tertawa karena acara humor di tv, dan keluarga yang mengunjungi ke kosan, itu semua menyenangkan. Tapi tetap saja, karena perasaan hitam yang menyergap terlalu banyak, jadinya kebahagiaan itu seolah lenyap lesap.

Masa-masa jauh dari Tuhan juga saya alami di tahun 2016. Berbulan-bulan saya tidak berdoa dan merenungkan firman Tuhan karena merasa itu semua tidak ada gunanya (hahaha, how stupid and desperate I was). 

Namun itu semua bukannya tanpa alasan. Oleh karena doa-doa saya yang seolah tidak dijawab, Tuhan (yang saya rasa) memalingkan wajahNya, membuat saya putus asa setiap hari. Yang jelas, 2016 was like a series of sadness to me. No clue of vision, clue of life partner, no goal, and finally chaos.

Dan di detik-detik menutup tahun kemarin, waktu tahun baruan di rumah bapatua, saya seperti tersadar. What have I done? Why do I make everything so complicated? Why do I keep asking where God is whereas He is always there?

Di tengah malam yang dipenuhi kepulan asap rokok di udara dan dinginnya Diski tgl 31 des kemarin, saya janji untuk move on, untuk tidak meribetkan keadaan, untuk tidak menyulitkan diri sendiri ataupun mengasihaninya, untuk menghargai setiap hari dengan rasa syukur dan berjuang tiap-tiap waktu.

And .... tadaaaa... Here I am with new spirit, new hope!

Ohya, satu lagi, saya menargetkan untuk mengejar master degree tahun ini. Hopefully! 

Okay, bye-bye for now!


EL

Rabu, 23 November 2016

NUMB.

Hai, apakah aku masih hidup?
Tubuhku memang menghirup oksigen dan membuang karbondioksida,
tapi jiwaku sudah kehilangan kekuatan untuk melanjutkan jalan.
Terlalu lama diperangkap pikiran.
Aku terkungkung.
Waktu menjelma algojo berdarah dingin.
Dia tidak menerkam di depan.
Namun lambat-lambat ditusuknya aku lewat belakang.

Aku telah gagal mendefinisikan kehidupanku.
Untuk apa aku hidup?
Kenapa aku hidup?

Kini,
Aku tidak lagi merasakan apa-apa.
Tidak juga dibebani apa-apa.
Aku tidak merasa sedang dituntut: oleh aku atau siapapun.

Aku hanyalah onggokan daging bergerak,
Yang mesti menurut waktu.
Awalnya aku merasa nyeri tiap pagi.
Namun kini itu tidak lagi.
Mati rasa.
Malahan, apa itu rasa?
Aku lupa.

Siapa yang mau menolong?
Aku kehabisan akal.
Habis daya.
Habis lesap dimakan masa.


Ya, memang sudah habis.


23 Nov 2016
EL_


Senin, 07 November 2016

Tentang Ayah dan Sebuah Rindu

Baca dulu:
http://rasakatarasa.blogspot.co.id/2015/12/cerpen.html?m=1

Begitu lama aku tidak pulang ke rumah ayahku. Aku telah kehilangan gambaran seberapa renta ia. Lalu karena tumpukan masalah yang membebaniku beberapa tahun terakhir, aku mulai sering mengenangnya. Mengenang masa yang kami habiskan berdua saja; mengenang ia yang sebetulnya selalu berusaha membuat aku merasa aman. Nyaman. 

Manusia itu lucu ya? Aku adalah anak emas ayahku, anak yang sedari muda di dijauhkannya dari luka, yang dijaganya dari mala, tapi kala dewasa lebih memilih jalan antah-berantah yang ujung-ujungnya membuat aku tak tentu arah.

Prama. Dia adalah risiko yang kuambil dengan hati bulat kala aku angkat kaki dari rumah ayahku. Memilih dia saat itu dibanding ayah terasa seperti pilihan yang paling benar dari apapun. Dia bagiku bukan hanya masa depan, tapi juga ujung. Kupikir berujung dengannya akan menyulap hidupku menjadi lebih semarak dibandingkan hidup bersama bunga-bunga peninggalan ibu yang dinantikan ayah musim mekarnya. Prama terasa lebih indah daripada mawar atau anyelir. Masih bisa kurasakan perasaanku kala itu ketika dengan tegas aku mengambil keputusan. Aku puas bisa minggat dengan Prama. 

Lalu kini--pada tahun-tahun yang rumit ini--tidak ada yang kudapat kecuali Prama yang membuat hati nelangsa setiap malam dan vertigo yang menyerang setiap pagi. Hampir karam aku karena risiko bernama Prama. Setengah gila oleh ujung itu. Ia bukan saja membuat aku lelah karena keluhannya dan tuntutannya, ia juga membuat otakku berperang dengan hatiku setiap hari. Hidup dengan Prama adalah langkah paling tak logis yang kupaksakan untuk ditempuh.

Kepada Prama--jujur--sebenarnya aku masih cinta. Tapi rasa cintaku pada dia telah menyamai rinduku pada ayah. Mungkin juga lebih.

Apakah aku masih bisa kembali? Ke rumah kami yang dikelilingi tetangga yang suka memelihara anjing, ke rumah kami, yang masih membungkus rapi kenangan aku dan ayah menikmati mawar merekah? Aku tidak dapat meninggalkan Prama, tidak juga dapat menahan rindu pada ayah. Mungkinkah ayah bersedia baikan dengan Prama? Tidak. Tidak mungkin. Ayah sangat menyayangiku dan jika diketahuinya apa yang sudah kualami di episode hidupku dengan Prama, semakin ingin ia melenyapkan laki-laki itu demi melindungiku. Namun aku telah berjuang menerima Prama sampai sejauh ini. Rasanya sulit melepaskan dia. Entah perkara sulit atau karena sudah terlanjur bersama, aku juga tidak tahu membedakannya.

Aku benar-benar marah pada aku. Pada keadaan. Pada waktu. Pada segala hal yang pernah membiarkanku mengambil risiko yang salah.

Aku terjebak. 

Aku ingin melihat ayah, namun aku kehabisan cara untuk pulang. Yang tersisa hanyalah sebuah depresi karena rindu yang tidak dikatakan.


EL



Selasa, 18 Oktober 2016

L.O.S.T


Tuhanku penyelamat hidupku
KasihMu penopang di jalanku
Tak pernah diriku takut
Akan badai yang kan menghadang
Karena Kau besertaku.

Tuhan, Kaulah kasih
Penebus hidupku, jaminan keselamatanku
Tuhan, Kaulah kasih
Ajaib perbuatanMu di dalam hidupku Tuhan.
..........

It's a long pause I didn't write anything on this blog. Job and chores really dragged me deeply to the mainstream life of ordinary people. I've been working in the same place for almost 9 months and realized that getting a job is never be the final solution to get a happy life as what I thought before.

I clearly remember the lyric of the song above that I wrote  (so long ago) when I was still in the max point of my spirit, well--if I could say so. Then in this very time, it seems like life testing me with those faithful words in the song and honestly I am feeling so bad with it, with the circumstance I face, with the very hard nights I must go through, thinking about my life. To see the lyric I can't believe I can be this very depressed. Really, I am trapped in 24yearold-elis'-life-crisis: no plan, no passion, but exhausted all day long.

I do not have any clear explanation about what happens in my way, why I end up with me hurting myself with a bad way of thinking, negative signal, and destructive idea of life. If there's a point to say, it must be the bitter reality of adults' life.

Previously, I was a quite motivated one, a girl that had tons of plans to be done, a girl who surrendered to God either in good or bad time--well, it is not always perfect though.

Now? I grow old everyday and I'm drowning. I keep feeling insecure and it scares me every nights. You know it is very difficult and hurt to feel pointless, anxiety, and unworthy at your productive ages. Rather, it becomes worse when you don't know what to do to fix it up. Oh so bad I really take myself a seat on the position! Consequently, I start becoming selfish and my condition is the best reason for the situation.

And that's not yet the highest level of the crisis. I don't know how but I can say that I have made a distance with God which is very torturing--I can't help it--but at the same time can't force to be back to Him once again. I am totally like playing a drama.  Real dramatic drama.

Why should this all be happened? Is that me who just makes it more complicated? Is that me who's angry at God in situation He puts me in? Is that me who cannot believe in anything anymore?

I have no idea. I am just feeling empty. Exhausted again. Dying in solitude.


EL

Minggu, 21 Februari 2016

SINGGAH

Pernah ada perjalanan panjang di satu senja, saat aku berkendara dengan sepeda motor selama hampir dua jam bersama temanku Ikhsan. Saking lelahnya, kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung bandrek di tepi jalan lintas daerah.
Saat aku selesai mengunci motor, mataku tertumbuk pada seorang perempuan muda yang duduk di salah satu bangku yang tersedia di warung itu. Perempuan itu tengah menghidu bandrek di depannya, lalu tersenyum: puas. Aku sampai tertegun. Puluhan tahun sudah aku minum bandrek di warung sana-sini, tapi tidak pernah merasakan sensasi yang luar biasa lantas bertingkah seperti dia. Bandrek terlalu sederhana. Diam-diam dalam hati aku mulai menyusun rencana.
“Bandrek di sini enak ya?” kataku seraya mengambil posisi duduk di hadapannya. Bahuku sempat membentur bahu Ikhsan—sengaja—karena sempat kulihat ia tertawa mendengar pertanyaanku. Ah, dengan dia aku memang selalu ketahuan saat menggoda perempuan. “Bandrek satu Pak!” seruku pada yang empunya warung.
Perempuan itu lantas mendongakkan kepala dan memandangku sekilas. Ia belum menjawab, hanya tersenyum. Manis sekali. “Dimana-mana bandrek selalu enak,” katanya.
“Kok saya merasa tidak begitu ya?” balasku bersemangat. Dalam hati kuterka-terka apa selanjutnya yang akan ia katakan.
“Mungkin karena kamu biasa jalan-jalan,” sahut perempuan itu sekenanya.
Mataku membeliak, “kenapa kamu bilang begitu?”
“Karena saya tidak biasa jalan-jalan, makanya bandrek selalu enak,” ia lalu tertawa. Bisa kulihat giginya kecil-kecil. Ia terlihat semakin menarik. “Kamu mau kemana?” tanyanya padaku.
“Ng…, ke Sibolga.”
“Wisata?”
“Bukan. Mau ketemu ibu.”
“Oh, kampungnya di sana?”
“Ya.”
“Datang dari mana? Biar saya tebak. Padangsidimpuan?”
“Ya.”
“Di Padangsidimpuan kerja?”
Untuk ketiga kali aku mengatakan, “ya.”
Saat itulah bandrek pesananku tiba dan ia tidak bertanya lagi. Kami sama-sama diam demi menekuni minuman itu. Mendadak aku merasa bodoh karena sudah buang-buang waktu dan kesempatan dengan cuma menjawab ya-ya-ya. Aku mulai berpikir keras, berusaha mencari bahan pembicaraan.
“Kalau kamu… mau kemana?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat.
“Saya? Saya nggak mau kemana-mana,” jawabnya enteng.
“Terus, kenapa di sini? Di jalan lintas ini?”
“Emangnya tidak boleh?”
“Bukan…, maksud saya, cuma mau minum bandrek?”
“Tidak juga. Saya bisa minum dimana saja suka.”
“Lalu, di sini? Kenapa?”
“Ya karena saya suka,” ia kembali tertawa. Gigi kecil-kecil itu terlihat lagi.
“Kok saya tidak mengerti ya,” kataku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Tidak ada yang memaksa kamu harus mengerti kan? Kamu datang ke sini, saya datang ke sini. Kita tidak saling kenal, lalu kenapa harus saling mengerti?”
“Kalau begitu mari kenalan. Aku Pras,” tukasku semakin bersemangat. Tapi bukannya memberitahukan namanya, ia malah menatapku lamat-lamat dengan sorot mata menelanjangi. Baru sekali itu aku ditatap begitu hingga mukaku terpaksa beralih ke arah lain.
“Kamu tahu tidak Pras, perjalanan itu menyedihkan. Yang tidak terbiasa sedih, sudah pasti memilih kembali ke titik awal perjalanan tanpa sempat menyelesaikannya atau bahkan memulainya. Kamu golongan orang-orang hebat,” katanya dengan mimik serius.
“Setiap melakukan perjalanan, apakah kamu selalu bahagia, Pras?” Aku mengangguk. “Kalau perjalanan yang makan waktu sangat panjang, bahagia juga?” Kembali aku mengangguk, “aku terbiasa melangkah maju,” jawabku dengan pasti. Setelah mendengar itu, ia tersenyum. Kali ini kecut.

Senin, 25 Januari 2016

Tahun Baru, Kegiatan Baru!

Hola!
Ini adalah postingan saya yang kesekian. Masih soal-soal pekerjaan, kalau kemarin-kemarin tulisan saya agak menyerempet ke keadaan saya sebagai seorang jobless, yang kali ini 180 derajat perbedaannya. Yes, thank God, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan! Sebelum saya kasih tahu pekerjaan saya yang paling paling pertama ini, saya mau bercerita soal masa lalu saya ketika memilih pekerjaan.

As a matter of fact, saya sempat berada di titik dimana saya merasa superior. Seperti di postingan saya sebelumnya, saya menganggap bahwa mencari pekerjaan itu masalah gampang. Sebenarnya hal tersebut sifatnya laten karena setiap kali saya ingat, saya berusaha  menyingkirkannya jauh-jauh sebab jelas saya tahu sifat tersebut tidak baik. Nevertheless, perasaan superior tersebut bisa datang tiba-tiba ketika saya merenung, ketika saya sedang ingin memutuskan untuk meng-apply suatu pekerjaan, bahkan yang paling sering yakni ketika saya sedang tidak ada kerjaan (karena itu guys hati-hati dengan waktu kosong, karena hal-hal yang buruk bisa terjadi di saat itu dan meluap-luap di pikiran kita seperti api). Kalau saya pribadi mengatakannya perasaan tersebut adalah  sisa-sisa sifat ambisius saya di masa lalu.

Lalu pertanyaannya, kenapa saya merasa superior? Actually, saya malu untuk mengemukakannya. Saya malu dengan sifat buruk itu, tapi baiklah saya ceritakan. Saya itu sempat merasa saya terlalu pintar untuk meng-apply posisi ‘biasa’ atau perusahaan ‘biasa’. Ya, memang di tahun 2014, oleh beberapa tanggung jawab, saya ingin sekali mendapatkan pekerjaan di Medan. Namun ketika melihat info lowongan kerja perusahaan yang bahkan namanya saja saya tidak pernah dengar plus posisi yang ‘nggak banget’, saya kok merasa enggan melamar. Memang pada saat itu saya tidak bilang kalau saya terlalu ‘baik’ untuk perusahaan atau posisi tersebut, tapi secara tidak sadar, sekarang saya harus mengakui bahwa perasaan superior itulah yang menghantui saya.